Sabtu, 14 April 2012

Penerimaan Perikatan Audit (Audit Engagement) dan Perencanaan Audit


Proses audit atas laporan keuangan historis dibagi menjadi empat tahap utama, yaitu: (1) penerimaan perikatan audit, (2) perencanaan audit, (3) pelaksanaan pengujian audit, dan (4) pelaporan audit. Dalam Modul 5 nanti akan diuraikan secara terperinci tahap penerimaan perikatan audit dan tahap perencanaan audit.
Proses penerimaan perikatan audit dilaksanakan oleh auditor melalui enam tahap, yaitu (1) mengevaluasi integritas manajemen, (2) mengidentifikasi keadaan khusus dan risiko besar, (3) menentukan kompetensi untuk melaksanakan audit, (4) menilai independensi, (5) menentukan kemampuan untuk menggunakan kecermatan dan keseksamaan, (6) membuat surat perikatan audit.
Setelah auditor memutuskan untuk menerima perikatan audit dari kliennya, auditor kemudian merencanakan auditnya melalui tujuh tahap, yaitu (1) memahami bisnis dan industri klien, (2) melaksanakan prosedur analitik, (3) mempertimbangkan tingkat materialitas awal, (4) mempertimbangkan risiko bawaan, (5) mempertimbangkan berbagai faktor yang berpengaruh terhadap saldo awal jika perikatan dengan klien berupa audit tahun pertama, (6) mengembangkan strategi audit awal terhadap asersi signifikan, (7) memahami pengendalian intern klien.
Dalam audit, auditor melakukan tiga macam pengujian (test), yang secara garis besar dibagi menjadi tiga golongan, yaitu pengujian analitik (sering kali disebut pula dengan prosedur analitik), pengujian pengendalian, dan prosedur substantif.

Perencanaan Audit
Setelah auditor memutuskan untuk menerima perikatan audit dari kliennya, auditor kemudian merencanakan auditnya melalui tujuh tahap, yaitu (1) memahami bisnis dan industri klien, (2) melaksanakan prosedur analitik, (3) mempertimbangkan tingkat materialitas awal, (4) mempertimbangkan risiko bawaan, (5) mempertimbangkan berbagai faktor yang berpengaruh terhadap saldo awal jika perikatan dengan klien berupa audit tahun pertama, (6) mengembangkan strategi audit awal terhadap asersi signifikan, (7) memahami pengendalian intern klien.
Dalam audit, auditor melakukan tiga macam pengujian (test), yang secara garis besar dibagi menjadi tiga golongan, yaitu pengujian analitik (sering kali disebut pula dengan prosedur analitik), pengujian pengendalian, dan prosedur substantif.

Konsep dan Unsur Pengendalian Intern
Auditor diwajibkan oleh standar pekerjaan lapangan kedua untuk memahami pengendalian intern yang berlaku di organisasi kliennya.
Pengendalian intern adalah suatu proses yang dijalankan oleh dewan komisaris, manajemen, dan personel lain yang didesain untuk memberikan keyakinan memadai tentang pencapaian tiga golongan tujuan, yaitu (1) keandalan pelaporan keuangan, (2) kepatuhan terhadap hukum dan peraturan yang berlaku, (3) efektivitas dan efisiensi operasi. Tujuan pengendalian yang relevan dengan audit atas laporan keuangan adalah “keandalan pelaporan keuangan”.
Setiap pengendalian intern memiliki keterbatasan bawaan, yaitu (1) kesalahan dalam pertimbangan, (2) gangguan, (3) kolusi, (4) pengabaian oleh manajemen, (5) biaya lawan manfaat.
Banyak pihak yang bertanggung jawab atas pengendalian intern, yaitu manajemen, dewan komisaris dan komite audit, auditor intern, personel lain entitas, auditor independen, serta pihak luar lain.
Unsur pengendalian intern adalah lingkungan pengendalian, penaksiran risiko, informasi dan komunikasi, aktivitas pengendalian, dan pemantauan. Lingkungan pengendalian terdiri dari enam unsur, yaitu nilai integritas dan etika, komitmen terhadap kompetensi, berfungsinya dewan komisaris dan komite audit, falsafah dan gaya operasi, struktur organisasi, pembagian wewenang dan pembebanan tanggung jawab, kebijakan dan praktik sumber daya manusia. Penaksiran risiko adalah identifikasi, analisis, dan pengelolaan risiko entitas yang berkaitan dengan penyusunan laporan keuangan dan desain aktivitas pengendalian untuk mengurangi risiko tersebut. Informasi mencakup sistem akuntansi yang merupakan alat untuk mengidentifikasi, merakit, menggolongkan, menganalisis, mencatat, dan melaporkan transaksi suatu entitas, serta menyelenggarakan pertanggungjawaban kekayaan dan utang entitas tersebut. Komunikasi mencakup penyampaian informasi kepada semua personel entitas yang terlibat dalam pelaporan keuangan tentang bagaimana aktivitas mereka berkaitan dengan orang lain, baik yang berada di dalam maupun di luar organisasi. Aktivitas pengendalian terdiri dari kebijakan dan prosedur yang umumnya digolongkan menjadi lima kelompok, yaitu pengendalian pengolahan informasi, pemisahan fungsi yang memadai, pengendalian fisik atas kekayaan dan catatan, reviu atas kinerja. Pemantauan adalah proses penilaian kualitas kinerja pengendalian intern sepanjang waktu.

Pemahaman atas Pengendalian Intern
Auditor diwajibkan oleh standar pekerjaan lapangan kedua untuk memahami pengendalian intern yang berlaku.
Pengendalian intern adalah suatu proses yang dijalankan oleh dewan komisaris, manajemen, dan personel lain, yang didesain untuk memberikan keyakinan memadai tentang pencapaian tiga golongan tujuan, yaitu (1) keandalan pelaporan keuangan, (2) kepatuhan terhadap hukum dan peraturan yang berlaku, (3) efektivitas dan efisiensi operasi. Tujuan pengendalian yang relevan dengan audit atas laporan keuangan adalah keandalan pelaporan keuangan.
Setiap pengendalian intern memiliki keterbatasan bawaan, yaitu (1) kesalahan dalam pertimbangan, (2) gangguan., (3) kolusi, (4) pengabaian oleh manajemen, (5) biaya lawan manfaat.
Banyak pihak yang bertanggung jawab atas pengendalian intern yaitu manajemen, dewan komisaris dan komite audit, auditor intern, personel lain entitas, auditor independen, dan pihak luar lain.
Unsur pengendalian intern adalah lingkungan pengendalian, penaksiran risiko, informasi dan komunikasi, aktivitas pengendalian, dan pemantauan. Lingkungan pengendalian terdiri dari enam unsur, yaitu nilai integritas dan etika, komitmen terhadap kompetensi, berfungsinya dewan komisaris dan komite audit, falsafah dan gaya operasi, struktur organisasi, pembagian wewenang dan pembebanan tanggung jawab, kebijakan dan praktik sumber daya manusia.
Penaksiran risiko adalah identifikasi, analisis, dan pengelolaan risiko entitas yang berkaitan dengan penyusunan laporan keuangan dan desain aktivitas pengendalian untuk mengurangi risiko tersebut. Informasi mencakup sistem akuntansi yang merupakan alat untuk mengidentifikasi, merakit, menggolongkan, menganalisis, mencatat, dan melaporkan transaksi suatu entitas, serta menyelenggarakan pertanggungjawaban kekayaan dan utang entitas tersebut. Komunikasi mencakup penyampaian informasi kepada semua personel entitas yang terlibat dalam pelaporan keuangan tentang bagaimana aktivitas mereka berkaitan dengan orang lain, baik yang berada di dalam maupun di luar organisasi. Aktivitas pengendalian terdiri dari kebijakan dan prosedur yang umumnya digolongkan menjadi lima kelompok, yaitu pengendalian pengolahan informasi, pemisahan fungsi yang memadai, pengendalian fisik atas kekayaan dan catatan, reviu atas kinerja. Pemantauan adalah proses penilaian kualitas kinerja pengendalian intern sepanjang waktu.
Tujuan auditor mengumpulkan informasi pengendalian intern adalah untuk menentukan apakah audit mungkin dilaksanakan, salah saji material yang secara potensial dapat terjadi, risiko deteksi, dan perancangan pengujian.
Ada tiga cara yang biasanya dipakai oleh auditor untuk mendokumentasikan hasil pemahaman atas pengendalian intern kliennya, yaitu kuesioner pengendalian intern baku, uraian tertulis, dan bagan alir sistem.
Sumber informasi untuk memahami pengendalian intern yang berlaku adalah bagan organisasi dan deskripsi jabatan; buku pedoman akun; buku pedoman sistem akuntansi; wawancara dengan karyawan inti; wawancara dengan karyawan pelaksana, laporan, kertas kerja, dan program audit auditor intern (internal auditor); pemeriksaan terhadap catatan akuntansi, dokumen, peralatan mekanik, dan media lain yang digunakan untuk mencatat transaksi, mengolah data keuangan dan data operasi; kunjungan ke seluruh kantor dan pabrik; dan laporan mengenai rekomendasi perbaikan pengendalian intern dan laporan audit tahun sebelumnya yang diterbitkan oleh auditor.
Untuk menguji kepatuhan terhadap pengendalian intern, auditor melakukan dua macam pengujian, yaitu pengujian adanya kepatuhan terhadap pengendalian intern dan pengujian tingkat kepatuhan terhadap pengendalian intern. Untuk menentukan apakah pengendalian intern yang digambarkan dalam bagan alir sistem akuntansi dan jawaban kuesioner pengendalian intern benar-benar ada dan dilaksanakan, auditor menempuh dua cara sebagai berikut.
  1. Pengujian transaksi dengan cara mengikuti pelaksanaan transaksi tertentu.
  2. Pengujian transaksi tertentu yang telah terjadi dan yang telah dicatat.
Audit intern memberikan bantuan besar bagi auditor dalam audit atas laporan keuangan. Auditor independen perlu mempertimbangkan pekerjaan auditor intern dan menggunakan pekerjaan auditor intern untuk membantu pelaksanaan audit atas laporan keuangan klien.

Kebijakan Pengembangan Ekonomi Kerakyatan



Apabila kita bertanya system perekonomian apa yang akan kita pakai dan dimana letak atau sumbernya dalam Pancasila? Jawabannya adalah bahwa system ekonomi terkandung dalam sila kelima, yaitu “ Keadilan social bagi seluruh rakyat Indonesia.” Dalam rangka mewujudkan  masayarakat yang adil dan makmur yang sesuai dengan Pancasila, maka system ekonomi yang harus dibangu adalah system ekonomi yang pada dasarnya bersifat kekeluargaan atau bersifat gotong royong. System ekonomi Pancasila yang merupakan suatu system guna mewujudkan cita-cita keadilan sosial yang menyangkut bidang ekonomi, tercantum dengan jelas pada bab XIV pasal 33 UUd 1945 yang berbunyi:
1.      Perekonomian disusun sebagai usaha bersama atas asas kekeluargaan.
2.      Cabang-cabang produksi yang penting bagi Negara dan menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh Negara.
3.      Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara dan digunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

Dari ayat-ayat tersebut dapat lebih dijelaskan bahwa:
1.      Dasar demokrasi ekonomi, dimana produksi dikerjakan oleh semua, untuk semua dibawah pimpinan atau penilikan anggota-anggota masyarakat.
2.      Kemakmuran masyarakat diutamakan
3.      Perekonomian harus disusun sebagai usaha bersama atas asas kekeluargaan.
4.      Cabang-cabang produksi yang penting dikuasai oleh Negara
5.      Bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung dalam perut bumi Indonesia dikuasai oleh Negara untuk dipergunakan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

Dari penjelasan-penjelasan tersebut dapat disimpulkan bahwa sifat-sifat dan cirri-ciri system ekonomi yang harus disusun adalah dengan adanya; demokrasi ekonomi, kemakmuran masyarakat, asas kekeluargaan, ikut campurnya Negara dalam cabang-cabang produksi dan sumber daya alam yang penting (vital).
Kemudian yang menjadi pertanyaan adalah, kebijakan seperti apa yang akan mendukung terlaksananya ekonomi pancasila (kerakyatan) dan kebijakan apa sajakah yang member solusi bagi permasalahan-permasalahan yang ada dalam system ekonomi tersebut?














Kebijakan-Kebijakan Yang Mendukung Ekonomi Pancasila (Kerakyatan)
      Menyusun kebijakan yang optimal dalam pemberdayaan ekonomi rakyat memang bukan merupakan pekerjaan mudah.  Permasalahan seperti mencari keseimbangan antara intervensi dan partisipasi, mengatasi konflik kepentingan, mencari instrumen kebijakan yang paling efektif, membenahi mekanisme penghantaran merupakan tantangan yang tidak kecil.  Yang dapat dilakukan adalah mengusahakan mencoba mengusahakan agar kebijakan pemberdayaan ekonomi rakyat tersebut dapat mewujudkan suatu ekonomi rakyat yang berkembang – meminjam jargon yang sangat terkenal – dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat.  Dalam semangat demokratisasi yang berkedaulatan rakyat, hal tersebut berarti kebijakan yang dilakukan perlu dapat menjamin agar kegiatan ekonomi mencerminkan prinsip-prinsip :
   Dari rakyat; rakyat banyak memiliki kepastian penguasaan dan aksesibilitas terhadap berbagai sumberdaya produktif, dan rakyat banyak menguasai dan memiliki hak atas pengambilan keputusan produktif serta konsumtif yang menyangkut sumberdaya tersebut.  Pemerintah berperan untuk memastikan kedaulatan tersebut dilindungi dan dihormati sekaligus mengembangkan pengetahuan dan kearifan rakyat dalam pengambilan keputusan.
   Oleh rakyat; proses produksi, distribusi dan konsumsi diputuskan dan dilakukan oleh rakyat.  Dalam hal ini sistem produksi, pemanfaatan teknologi, penerapan azas konservasi, dan sebagainya perlu dapat melibatkan sebagian besar rakyat.  Pemberian ‘hak khusus’ kepada segelintir orang untuk mengembangkan ‘kue ekonomi’ dan kemudian baru ‘dibagi-bagi’ kepada yang banyak tidak sesuai dengan prinsip ini.  Kreativitas dan inovasi yang dilakukan rakyat harus mendapat apresiasi sepenuhnya.
   Untuk rakyat; rakyat merupakan ‘beneficiaries’ utama dalam setiap kegiatan ekonomi sekaligus setiap kebijakan yang ditetapkan.  Jelas bahwa korupsi, dominasi, dan eksploitasi ekonomi tidak dapat diterima. 
A.      Sistem Ekonomi Pancasila dan Pemerataan
Memang pemerataan secara penuh tidak akan mungkin dcapai, yang bisa dicapai adalah sekedar mengurangi ketimpangan yang ada. Pada prinsipnya disetiap Negara dimanapun tidak membiarkan adanya ketimpangan dalam pembagian kekayaan dan pendapatan, karena setiap ketimpangan selalu mengandung bahaya terjadinya keresahan dan ketidakstabilan masyarakat. Oleh karena itu, pemerintah menyusun beberapa kebijakan untuk menghindari terjadinya ketimpangan dalam masyarakat, antara lain:
1.      Keputusan presiden no. 14 dan 14A dimaksudkan antara lain agar golongan ekonomi lemah mendapat kepastian berpartisipasi dalam berbagai bidang usaha tanpa harus berkompetisi secara sengit dengan golongan ekonomi kuat.
2.      Menggunakan koperasi unit desa (KUD) yang merupakan usaha “non market”
3.      System pembagian beras kepada pegawai negeri dan ABRI. Dengan cara ini pemerintah berusaha melindungi pengawai-pegawainya dari kemungkinan kesusahan yang diakibatkan oleh system pasar terutama dalam keadaan inflasi.
4.      System monopoli yang dilakukan pemerintah dalam cabang-cabang produksi seperti produksi beras yang dihimpun dalam BULOG, bertujuan untuk melindungi konsumen jika terjadi gagal panen.

B.       Sistem Ekonomi Pancasila dan Perdagangan Luar Negeri

Dalam system ekonomi Pancasila bidang perdagangan luar negeri perlu mengusahakan:

1.      Peningkatan eksport
Peningkatan eksport harus dilakukan dengan memperhitungkan kebutuhan sendiri akan devisa Negara. Disamping itu perlu terus diusahakan stabilitas harga barang-barang eksport pada tingkat harga yang menguntungkan melalui kerja sama yang lebih erat antar Negara pengeksport dan pengertian yang lebih baik dari Negara-negara pengimport mengenai kedudukan Negara kita.
2.      Diversifikasi eksport
Usaha untuk meningkatkan macam komoditi eksport perlu ditingkatkan. Restrukturisasi komposisi eksport perlu terus ditingkatkan, sehingga tekanan eksport beralih dari bahan mentah menjadi barang jadi yang mempunyai efek positif bagi penyerapan tenaga kerjha, pengalihan teknologi, peningkatan keterampilan, dan peningkatan nilai tambah.
3.      Perluasan pasar eksport
Dalam system ekonomi pancasila, eksport harus disalurkan pada lebih banyak negar-negara pengimport yang relative lebih merata. Dengan demikian, dapat diharapkan ketergantungan pada negar-negara tertentu menurun.
4.      Komposisi import yang lebih baik
Komposisi import harus terus diusahakan agar mencerminkan  dan sejalan dengan perkembangan perubahan struktur ekonomi yang ada di dalam negeri, guna mendukung perkembangan kea rah tumbuhnya industry-industri pengolahan. Import bahan baku, bahan penolong, dan peralatan modal harus tetap mendapatkan prioritas utama, sedangkan import barang-barang konsumsi bukan pokok harus diberi prioritas terakhir.
5.      Kebijaksanaan tariff dan subsidi
Kebijaksanaan dalam bidang bead an subsdi, baik untuk import maupun eksport dalam system ekonomi pancasila perlu dipergunakan dengan cukup hati-hati, terutama untuk tujuan-tujuan pembagian pendapatan nasional  yang adil serta untuk menghindari persaingan yang kurang baik, dan untuk melindungi industry-industri muda dalam negeri.
6.      Kebijaksanaan terhadap pendapatan modal asing
Dalam keadaan yang normal, system ekonomi pancasila tidak menghendaki adanya campur tangan pemerintah terhadap transaksi-transaksi pendapatan modal luar negeri, dengan syarat tidak mengganggu stabilitas politik dan ekonomi di dalam negeri.
7.      Kebijaksanaan terhadap modal asing
Pada dasarnya pemasukan modal asing dan teknologi maji tetap didorong bagi kepentingan pembangunan. Walaupun demikian pemerintah tetap perlu menentukan aturan permainannya sejalan dengan tahap-tahap pembangunan yang sedang dicapai dan kebutuhan-kebutuhan di masa datang.
8.      Saluran distribusi
Dalam system ekonomi pancasila pada dasarnya eksport dan import dilaksanakan oleh ketiga agen ekonomi, yaitu pemerintah, sector swasta dan koperasi. Ketiga agen tersebut harus mempu menjalin kerja sama yang saling mendukung bagi terciptanya kelancaran arus distribusi barang dan jasa.
9.      Kebijaksanaan harga
Dalam penentuan harga , pemerintah hanya campur tangan menentukan haraga barang-barang vital yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan pokok dan barang-barang yang flutuasi harganya dapat menganggu kestabilan ekonomi dan politik dalam negeri.
10.  Kebijaksanaan mengenai keanggotaan lembaga-lembaga ekonomi internasional
System ekonomi pancasila aktif berpartisipasi dalam lembaga-lembaga ekonomi internasional sepanjang:
a)      Diperkirakan bermanfaat bagi perekonomian Indonesia
b)      Diperkirakan besar pengaruhnya terhadap perekonomian dunia dan Negara berkembang pada khususnya.
C.    System Ekonomi Pancasila dan Masalah Makro

Dalam system ekonomi pancasila juga timbul masalah-masalah ekonomi makro, seperti: inflasi, dan pengangguran. Berikut ini adalah kebijakan-kebijakan untuk mengatasai permasalahan tersebut.

1.      Inflasi
Ada dua macam inflasi utama, yaitu inflasi yang ditimbulkan karena kelebihan permintaan (demand inflation) dan inflasi yang timbul karena kenaikan ongkos produksi (cost inflation).
a)      Demand inflation
Deman inflation timbul karena permintaan agregat melebihi penawaran agregat. Inflasi adalah sumber dari ketidakmerataan ekonomi dan social, dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Inflasi lebih membebani pada mereka yang berpenghasilan tetap dan rendah. Oleh sebab itu, dalam ekonomi pancasila secara prinsip inflasi harus dijauhi.
b)      Cost inflation
Cost inflation yang disebabkan oleh fenomena gagal panen dapat diatasi dengan beberapa cara yaitu, dengan mengimport pangan agar harga bahan pangan di dalam negeri tetap stabil. Selain itu, usaha lainnya adalah dengan memberikan subsidi kepada para petani yang menurun pendapatannya karena gagal panen.
Sedangkan cost inflation yang disebabkan oleh tekanan atau impulse kenaikan-kenaikan harga-harga luar negeri, maka pemerintah akan berusaha untuk mencegah agar “penularan” inflasi tidak masuk ke dalam negeri. Perekonomian nasional dapat memadukan secara optimal keharusan untuk mengintegrasikan diri dengan perekonomian internasional untuk memperoleh manfaat-manfaatnya dan keharusan mengisolir perekonomian nasional dari gangguan dari luar negeri.
2.      Pengangguran
Masalah pengangguran mempunyai 2 dimensi yaitu, jangka panjang dan jangka pendek. Pengangguran jangka pendek disebabkan karena tingkat dan komposisi permintaan agregat masayarkat tidak sesuai dengan tingkat dan komposisi dari tenaga manusia dan sumber-sumber ekonomi yang ada. Sedangkan masalah pengangguran jangka panjang timbul karena masalah kependudukan dan pembangunan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi yang merata dan pengendalian laju pertumbuhan penduduk adalah obat jangka panjang bagi masalah pengangguran. Lebih khususnya lagi, pemerintah mengupayakan dengan cara mendirikan balai latihan kerja (BLT) yang dapat melatih keterampilan yang mereka miliki agar bisa lebih berkembang dalam menyesuaikan keterampilan yang dibutuhkan oleh perusahaan-perusahaan. Selain itu pemerintah juga mengeluarkan kebijakan yang mempermudah para wirausahawan untuk merintis UKM mereka, sehingga dari UKM itu bias menciptakan lapangan kerja baru yang dapat menampung para pengagguran tersebut. UKM memiliki peran penting bagi masyarakat di tengah krisis ekonomi.  Dengan memupuk UKM diyakini pula akan dapat dicapai pemulihan ekonomi. Hal serupa juga berlaku bagi sektor informal. Usaha kecil sendiri pada dasarnya  sebagian besar  bersifat informal dan karena itu relatif mudah untuk dimasuki oleh pelaku-pelaku usaha yang baru.  Pendapat mengenai peran UKM atau sektor informal tersebut ada benarnya setidaknya bila dikaitkan dengan perannya  dalam meminimalkan  dampak sosial dari krisis ekonomi khususnya  persoalan pengangguran dan hilangnya penghasilan masyarakat. UKM boleh dikatakan merupakan salah satu solusi masyarakat untuk tetap bertahan dalam menghadapi krisis yakni dengan melibatkan diri dalam aktivitas usaha kecil terutama yang berkarakteristik informal.  Dengan hal ini maka persoalan pengangguran sedikit banyak dapat tertolong dan implikasinya adalah juga dalam hal pendapatan. 
Peran Perguruan Tinggi Dalam Pemberdayaan Ekonomi Kerakyatan

Perguruan Tinggi sebagai institusi untuk menciptakan insan intelektual, dan sekaligus membentuk sumber manusia insani yang berkualitas. Sebagai institusi Perguruan Tinggi memiliki folosofis yang dikenal dengan Tridharma Perguruan Tinggi, yakni darma pertama sebagai lembaga pendidikan dan pengajaran, dharma kedua penelitian, dan dharma ketiga pengabdian kepada masyarakat. Hal ini sejalan dengan Pasal 1 ayat 16 UU No 2 Tahun 1989 tentang  Sistem  Pendidikan Nasional menyebutkan bahwa : Pengembangan perguruan tinggi diarahkan pada kemampuan menyelenggarakan pendidikan, penelitian dan pengabdian kepada masyarakat, yaitu kegiatan yang disebut Tridarma Perguruan Tinggi.

Selanjutnya dijelaskan pada PP No 30/1990, yang menyatakan bahwa : dalam lingkup perguruan tinggi tercermin adanya kelompok kegiatan akademik yang mencakup misi dan fungsinya, yakni (a) pendidikan merupakan kegiatan penyampaian, penciptaan, dan pengembangan IPTEKS, (b) penelitian merupakan kegiatan penemuan, dan (c) pengabdian kepada masyarakat merupakan kegiatan penerapan IPTEKS yang meliputi kegiatan pengembangan, penyebarluasan dan pembudayaan IPTEKS. Hal ini berkonotasi bahwa penyelenggaraan pendidikan, penelitian dan pengabdian kepadamasyarakat harus saling menunjang dan melengkapi, yang merupakan suatu sistem.

Perguruan Tinggi sebagai lembaga yang mempunyai fungsi tridarma yang berkaitan dengan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni (IPTEKS), perguruan tinggi menyelenggarakan pendidikan tinggi dan penelitian serta pengabdian kepada masyarakat. Perguruan Tinggi dalam perannya sebagai the agent of national development dituntut untuk mampu mengembangkan setiap darmanya secara fungsional dan integral sehingga mampu mencapai posisi dan statusnya sebagai masyarakat ilmiah.
Program-Program pendukung Ekonomi Kerakyatan
A. Inpres Desa Tertinggal (IDT)
Program Inpres Desa Tertinggal (IDT) yang dilandasi oleh Kebijakan Keputusan Presiden (Kepres) No. 3 tahun 1993 tentang Peningkatan Penanggulangan Kemiskinan telah berjalan sejak 1 April 1994. Program ini secara ideal adalah untuk memberdayakan kaum miskin dan desa tertinggal baik di pedesaan maupun perkotaan. Dari dimensi politis program ini adalah untuk menunjukkan bahwa pembangunan adalah untuk rakyat, artinya kepedulian pemerintah terhadap kaum tertinggal (penduduk dan desa miskin) bukan sekedar
slogan pembangunan. Sebuah program adalah perencanaan yang terkadang antara konsep dan pelaksanaan di lapangan berbeda, perbedaan ini dapat disebabkan oleh konsep yang terlalu sulit untuk diterapkan, pelaksana di lapangan yang tidak mampu menerjemahkan suatu konsep ataupun kedua-duanya.
Pelaksanaan program IDT di desa yang menjadi lokasi penelitian menunjukkan kurangnya sinkronisasi dan pengawasan program yang ketat terutama dalam pemberian dana dari pemerintah. Kurangnya sinkronisasi menunjuk pada pembangunan infrastruktur desa yang kurang diarahkan pada variabel ketertinggalan desa.
Kurang tanggapnya Pemerintah Daerah dalam memberikan informasi dan mempersiapkan penduduk miskin calon penerima IDT sehingga terkesan program ini hanya'membagi-bagi dana tanpa membekali calon penerima dengan manajemen pengelolaan dana yang memadai. Sedangkan pengawasan yang kurang ketat menunjuk pada kurangnya instansi terkait dari pihak pemerintah dalam memberikan pengawasan pengelolaan uang dari para penerima dana IDT atau kurang ketat dalam mengevaluasi pengguliran dana, sehingga kurang jelas tingkat keberhasilan dari kelompok-kelompok masyarakat sebagai basis penerima dana IDT.
Program IDT yang memberikan dana kepada masyarakat tertinggal di desa tertinggal sebanyak Rp 20.000.000,- per desa/tahun dan setiap desa penerima akan menerima selama 3 tahun berturut turut jadi dalam 3 tahun (1994, 1995 dan 1996) setiap desa penerima IDT mendapatkan dana sebanyak Rp 60.000.000,- yang langsung diberikan kepada kelompok-kelompok masyarakat di desa yang sengaja telah dibentuk untuk menyongsong program ini.
Dari banyaknya dana tersebut, jika dikelola dengan baik akan memberikan prospek yang cerah pada setiap desa tertinggal. Pengawasan yang ketat terhadap pengelolaan dana dari setiap penerima IDT sangat diperlukan demi tercapainya program ini yakni memberdayakan masyarakat miskin. Pemberdayaan masyarakat harus mencakup segala dimensi seperti sosial, ekonomi, budaya, politik dan hukum. Artinya, dimensi ekonomi lewat pemberian dana IDT kepada masyarakat tertinggal harus pula dibarengi dengan pemberdayaan dimensi lain agar sesuai dengan maksud dan tujuan pemerintah yakni pembangunan disegala bidang. Pembangunan yang berhasil apabila semua program mampu membangkitkan daya masyarakat untuk secara otonom menjadi subjek dalam pembangunan.
Masalah kemiskinan memang sudah lama menjadi perhatian pemerintah, tetapi mulai mencuat sekitar akhir tahun 70’an. Munculnya isu kemiskinan ini bersamaan dengan isu pemerataan pembangunan. Tahun2 tersebut banyak badan2 dunia yang dengan sangat mudah memberikan pinjaman kepada pemerintah Indonesia, apalagi kalau terkait dengan masalah kemiskinan. Kata miskin sendiri di defenisikan oleh berbagai pihak secara ber beda2. Tetapi pada dasarnya semuanya secara implicit mengandung arti ketidak mampuan seseorang untuk memenuhi standar tertentu dari kebutuhan dasarnya yang berupa makanan dan non makanan. Pada saat itu yang muncul dengan defenisi miskin adalah Biro Pusat Statistik – BPS  (2100 kalori per hari), Institut Pertanian Bogor – IPB (Bapak Sayogyo dengan 1 kg beras per hari) dan World Bank ($1 per hari). Beberapa waktu kemudian Prof Mubiyarto dari Universitas Gadjah Mada – UGM juga mengeluarkan defenisi miskin ini. Jadi semua penduduk yang tidak memenuhi kriteria ini masuk dalam kategori miskin. Dari berbagai defenisi ini yang di pakai pemerintah adalah yang di keluarkan oleh BPS. Tentunya harus juga disadari bahwa masing2 punya kelebihan dan kekurangan. BPS menggunakan patokan 2100 kalori per hari berdasarkan penelitian yang menyatakan kalau manusia untuk bergerak minimum membutuhkan 2100 kalori.  Dalam perjalanannya kriteria ini banyak mengalami perbaikan misalnya komponent non makanan (sandang, perumahan, pendidikan dan kesehatan) mulai mendapat tempat yang berarti dalam perhitungan. Sekalipun sudah banyak mengalami perbaikan tetap saja banyak pro kontra terhadap penentuan kriteria miskin ini.
Ada beberapa program pemerintah pada saat itu yang diluncurkan untuk mengurangi jumlah penduduk miskin. Salah satunya adalah program Inpres Desa Teringgal (IDT). Program ini muncul dengan didasarkan atas pemikiran kalau kelompok masyarakat (pokmas) yang terbentuk dari bawah akan lebih kuat ikatannya dan akan lebih mempercepat menolong seseorang keluar dari kemiskinan (community-based development approach). Selain itu pemikiran ini juga bertujuan mengurangi kesenjangan sosial dengan cara meningkatkan kapabilitas sumberdaya manusia, tertutama pada kelompok-kelompok masyarakat miskin. Pada saat itu program IDT diharapkan akan mampu meningkatkan kemandirian penduduk miskin, meningkatkan pendapatan penduduk miskin dan akhirnya meningkatkan juga kepedulian masyarakat terhadap kelompok miskin. Jadi terlihat bahwa masyarakat miskin akan menjadi subject dari pembangunan. Total dana yang di sediakan kira2 sebesar US$200 juta yang disediakan oleh pemerintah. World Bank dan UNDP diminta untuk melakukan pengawasan secara independent. Untuk menunjukkan keseriusan pemerintah dalam menanggulangi kemiskinan ini pemerintah membentuk sekertariat tersendiri yang mengurusi masalah IDT dengan tujuan mengurangi birokrasi yang ada.
Proses awal dari program ini adalah penentuan desa tertinggal. Penentuan desa tertinggal ini dipercayakan kepada BPS.  Desa seperti apakah yang bisa disebut sebagai desa tertinggal. Ada sejumlah kriteria (variable) yang digunakan untuk menentukan suatu desa masuk pada kategori ini antara lain ketersediaan jalan utama desa, lapangan usaha bagi mayoritas penduduk, fasilitas pendidikan, fasilitas kesehatan, fasilitas komunikasi, kepadatan penduduk per km2, sumber air minum, sumber bahan bakar, persentase penggunaan listrik dan persentase pertanian, jumlah penduduk miskin dsb. Pada awalnya jumlah variable yang di pakai sekitar 27, tetapi dalam perjalanannya banyak mengalami perubahan. Sebagian besar desa-desa tersebut berada di Indonesia Tengah dan Timur.  Suatu ketika dulu sekali, banyak daerah yang protes ketika pemerintah pusat mengumumkan jumlah desa tertinggal di masing-masing wilayah. Sebab dengan banyaknya jumlah desa tertinggal berarti kinerja propinsi tersebut buruk, dan pembangunan gagal. Tetapi ketika beberapa waktu kemudian ada pengumuman susulan bahwa setiap desa tertinggal akan memperoleh dana IDT, maka setiap daerah pun berlomba-lomba merevisi angka jumlah desa tertinggalnya supaya menjadi lebih banyak. Saat ini dari sekitar 70 ribuan desa, di perkirakan sekitar 45 persen masuk pada kategori desa tertinggal dan sekitar 3,9 persen termasuk kedalam desa sangat tertinggal.
Setiap desa tertinggal diberi dana bergulir sebesar Rp 20 juta per tahun selama tiga tahun. Dana tersebut akan bergulir di desa tersebut paling tidak selama tiga tahun. Yang dimaksud dengan dana bergulir artinya dana ini merupakan pinjaman yang harus di kembalikan (dicicil), dan dana tersebut akan di pakai lagi oleh anggota pokmas yang lain dan seterusnya. Pada dasarnya dana yang di pinjamkan ini untuk modal usaha bukan untuk konsumsi. Awal2 program ini diluncurkan terlihat sekali kalau banyak pokmas yang belum terbiasa dengan usaha sendiri, sehingga di putuskan akan ada tenaga pendamping yang disediakan oleh pemerintah. Tenaga pendamping ini tergantung pada keahlian apa yang dibutuhkan oleh daerah setempat. Misalnya kalau desa tertinggalnya adalah desa pantai maka yang akan di terjunkan adalah ahli perikanan atau kalau daerahnya pertanian ya ahli pertanian. Dari beberapa pemantauan di lapangan saat itu jenis usaha yang banyak dilakukan adalah berdagang bakso, berdagang ikan, kue/warung kopi, berdagang barang kelontong,  beternak ikan, dan beternak ayam.
Tingkat keberhasilan program IDT ini menurut beberapa penelitian di berbagai daerah sangat beragam. Pada saat itu saya sebagai pion ikut juga membantu memantau program IDT ini. Di beberapa desa di Kupang (NTT) yang saya kunjungi misalnya terlihat beberapa keluarga yang berhasil menjalankan usahanya dan mampu mengembalikan dana tersebut. Tetapi tidak bisa dipungkiri kalau tingkat kegagalannya juga cukup tinggi. Penelusuran lanjutan untuk menjawab hal apa yang mengakibatkan ada yang berhasil, sementara ada anggota pokmas lain yang tidak berhasil juga dilakukan. Satu hal yang paling terasa adalah dengan birokrasi yang begitu berbelit di Indonesia menyebabkan program ini mengalami banyak kendala dalam pelaksanaannya. Kemacetan dalam penyaluran dana IDT ini juga banyak dikeluhkan. Selain itu banyak uang yang hilang sebelum sampai ke pokmas, dan kalaupun sampai biasanya yang menerima adalah kawan2 dalam lingkungan birokrat sendiri, yang menurut mereka lebih mudah dipantau pengembaliannya. Anggota pokmas yang berhasil ternyata jarang yang mulai usahanya dari awal, biasanya anggota yang sudah punya usaha dan dengan adanya dana tambahan usahanya bisa lebih maju. Tiga tahun setelah program IDT banyak yeng menyangsikan keberhasilan program pemerintah tersebut.  Tetapi kalau dilihat dari data yang ada sejak pertengahan tahun 70’an hingga tahun 1996 di perkirakan rakyat miskin di Indonesia menurun jumlahnya, sebelum krisis moneter yang melanda Asia di tahun 1997.
Dalam harian kompas 27 Nov 2002 diberitakan bahwa pada saat kunjungan ke dua desa IDT di kabupaten Kupang, NTT prof Dr Mubyarto (guru besar fakultas ekonomi UGM) mengatakan kalau prospek program IDT di NTT ini suram. Dia berkata begitu karena melihat kenyataan di Kupang tengah misalnya ada 12 desa/kelurahan yang menerima dana IDT dengan total sebesar Rp 700juta, tetapi dari dana tersebut dilaporkan hanya  Rp 157 juta yang bergulir dan melibatkan 215 keluarga dari enam desa (hanya 6 persen dari total keluarga miskin di Kupang tengah). Dia juga mengatakan sulit dimengerti mengapa terjadi kemacetan seperti itu, apalagi sejak awal program ini pemerintah provinsi dan kabupaten sudah mengangkat tenaga pendamping dengan pendidikan SMA keatas untuk membantu. Dimanakah letak kesalahannya.
Setelah Inpres Desa Tertinggal (IDT) masih banyak lagi program pemerintah yang ditujukan untuk menurunkan tingkat kemiskinan misalnya Pembangunan Prasarana Pendukung Desa Tertinggal (P3DT), Program Pembangunan Kecamatan (PPK), Program Penanggulangan Kemiskinan Perkotaan (P2KP), dan Jaring Pengaman Sosial (JPS). Apapun program pemerintah memang sebaiknya bertujuan meningkatkan kemandirian masyarakat untuk keluar dari kemiskinan  yang menurut Prof. Mubyarto bisa juga dimulai dari perbaikan sektor pendidikan. Menurut beliau “…kebodohan akan menjadi salah satu sumber utama kemiskinan mendatang. Ancaman ini yang tampaknya belum terlalu disadari. Ini seharusnya menjadi cambuk bagi para pejabat guna meningkatkan keseriusan terhadap masalah pendidikan…”.
Sasaran program Inpres desa tertinggal (IDT) adalah meningkatkan kesejahteraan sosial ekonomi penduduk miskin melalui upaya peningkatan kualitas sumberdaya manusia, peningkatan kemampuan permodalan, pengembangan usaha dan kelembagaan usaha bersama. Oleh karena itu, untuk mensukseskan program pemerintah ini maka perlu ada kajian tentang usaha perikanan yang diusulkan oleh kelompok masyarakat nelayan. Penelitian ini secara umum bertujuan untuk menganalisis faktor-faktor ekonomi dalam usahah perikanan skala kecil untuk mengantisipasi era globalisasi di kawasan Asia Pasifik. Secara khusus bertujuan menganalisis kelayakan ekonomis usaha perikanan dalam program Inpres desa tertinggal di kecamatan Wori pendekatan penelitian dilakukan melalui metode survey yang didasarkan pada metode deskriptif. Secara teknis usaha perikanan yang dijalankan umumnya masih layak dipandang dari masa pengembalian modal yang nilainya masih jauh dibawah masa efektif alat. Tetapi secara ekonomis, dilihat dari pendapatan per orang per trip, maka usaha yang dijalankan ini semuanya tidak ekonomis. Pendapatan per orang per trip yang tertinggi adalah sebesar Rp. 2.442.- Nilai ini yang masih jauh dari kebutuhan fisik minimal dan lebih rendah dari upah buruh pertanian atau buruh bangunan.
Meskipun bangsa Indonesia telah merdeka lebih dari setengah abad atau tepatnya akan memasuki 64 tahun masa kemerdekaan pada Agustus 2009, persoalan kemiskinan masyarakat masih menjadi salah satu isu terpenting. Berbagai program pembangunan pada berbagai bidang telah dilakukan sejalan dengan iklim kemerdekaan yang kondusif, tetapi kita masih menemukan sangat banyak daerah dan desa yang tertinggal dalam berbagai aspek.
Kementerian Negara Pembangunan Daerah Tertinggal masih mencatat pada tahun 2008 jumlah desa tertinggal di Indonesia sekitar 45 persen atau sebanyak 32.000 desa dibandingkan total desa secara nasional, yaitu sebesar 70 ribu.
Salah satu indikator ketertinggalan adalah minimnya akses warga desa terhadap berbagai sarana penunjang kehidupan. Infrastruktur yang mendukung aktivitas ekonomi serta infratruktur lainnya sangat terbatas bahkan dalam banyak kasus tidak tersedia. Kondisi ini yang menyebabkan umumnya pertumbuhan ekonomi di desa tertinggal sangat rendah bahkan mengalami stagnasi.
Kondisi ketertinggalan juga berkaitan erat dengan tingkat kemiskinan. Di daerah-daerah tertinggal jumlah penduduk miskin sangat besar. Keterbatasan akses dalam berbagai hal membatasi aktivitas warga desa dalam kegiatan ekonomi sehingga sangat sulit bagi mereka untuk lepas dari kondisi kemiskinan.
Berbagai program untuk mengatasi persoalan kemiskinan di desa dan daerah tertinggal telah diluncukan. Salah satu model yang cukup monumental adalah Inpres Desa Tertinggal (IDT). Selain itu, cukup banyak program lainnya yang digulirkan seperti program pendukung pembiayaan melalui berbagai jenis kredit usaha untuk rakyat miskin di pedesaan. Secara kelembagaan, juga telah dibentuk Kementerian yang khusus mengurusi daerah tertinggal yang identik dengan kantong kemiskinan. Meski demikian, persoalan daerah tertinggal dan tingkat kemiskinan di desa masih cukup memprihatinkan.
Strategi dan jalur atau kadang dikenal dengan pathways untuk mengentaskan kemiskinan merupakan pola yang terpadu. Satu tindakan saja tidak cukup dan harus bersinergi dan saling melengkapi dengan tindakan yang lain. The World Bank (2008) dan Asian Dvelopment Bank (2008) telah merumuskan paling tidak ada tiga pathways untuk mengatasi persoalan kemiskinan di perdesaan yaitu: peningkatan produktivitas pertanian, pembangunan sektor nonpertanian termasuk industri perdesaan dan migrasi sebagian penduduk desa ke kota untuk bekerja di sektor industri dan jasa.
Desa-desa di Indonesia masih sangat identik dengan sektor pertanian sebagai sumber utama penghidupan warganya. Peningkatan produktivitas pertanian menjadi hal yang sangat vital bagi peningkatan ekonomi lokal. Peningkatan produksi pertanian ini mencakup pertanian dalam arti luas meliputi perkebunan, kehutanan, perikanan dan peternakan. Dukungan pemerintah pusat dan daerah sangat diperlukan pada peningkatan akses petani terhadap teknologi produksi, pembiayaan produksi, dan informasi pertanian. Selain itu, perlu dukungan pembangunan infrastruktur seperti irigasi, jalan dan pasar desa.
Jalur strategi yang kedua adalah pembangunan sektor nonpertanian di perdesaan. Mengingat beban desa dan sektor pertanian secara umum sudah sangat berat, maka diperlukan pembangunan sektor nonpertanian di desa. Di satu sisi jumlah penduduk bertambah terus, di sisi yang lain daya dukung lahan sangat terbatas.
Jika tekanan hebat pada sektor pertanian berlangsung terus menerus, gejala involusi pertanian (agricultural involution) sebagaimana ditengarai oleh Clifford Geertz (1969) dapat terjadi. Sektor industri perdesaan akan menjadi alternatif jalan keluar bagi warga desa agar tidak semakin membebani daya dukung pertanian. Pengembangan sektor nonpertanian bisa mencakup industri dan jasa yang terkait maupun yang tidak terkait dengan pertanian.
Rangsangan untuk menumbuhkan industri rumah tangga pengolahan produk pertanian lokal, pengembangan industri kerajinan dan rintisan usaha jasa di perdesaan akan sangat penting peranannya dalam menampung angkatan kerja di perdesaan.
Sebagaimana pembangunan sektor pertanian, pembangunan industri desa juga perlu didukung dengan pembangunan infrastruktur seperti jalan, pasar, lembaga keuangan, dan pengembangan mitra kerja dengan industri menengah. Industri menengah dan besar dapat membangun jaringan kemitraan yang kuat dengan menekankan kualitas produk melalui bimbingan teknis, bantuan permodalan dengan ikatan rasa saling percaya (trust) dan saling menghargai antara pihak bermitra. Salah satu model dalam kemitraan industri rumah tangga, menengah, dan industri besar dapat diambil dari kisah sukses industri otomotif dan peralatan rumah tangga di Jepang.
Jalur strategi yang ketiga adalah migrasi sebagian penduduk desa ke sektor industri dan jasa di perkotaan. Strategi ini juga akan mengurangi beban berat sektor pertanian di perdesaan. Hal ini juga sekaligus memberi ruang gerak yang cukup bagi penduduk yang tetap tinggal di desa untuk bertani dengan lebih efisien dan produkif. Keuntungan dengan adanya migrasi ini adanya pengiriman sebagian dana (remitance) untuk anggota keluarganya yang tinggal di desa. Dana ini bisa menjadi modal kerja dan investasi yang produktif baik di sektor pertanian maupun nonpertanian di perdesaan. Pada akhirnya juga akan menggerakkan ekonomi desa dan sangat potensial untuk mengurangi tingkat kemiskinan desa.
Berbicara pengentasan kemiskinan dan peningkatan kesejahteraan, akses terhadap pertumbuhan ekonomi saja tidak cukup. Pembangunan desa juga harus mencakup sektor yang tidak secara langsung berkaitan dengan pertumbuhan ekonomi seperti peningkatan akses pendidikan, pelayanan kesehatan, listrik, dan sarana komunikasi.
Meskipun sudah ada Kementerian yang khusus menangani daerah tertinggal dan kemiskinan, pengetasan kemiskinan di perdesaan perlu ditangani dengan sangat serius yang merupakan sinergi lintas sektor. Departemen teknis mungkin memiliki program masing-masing sesuai dengan bidangnya, tetapi jika tidak dilaksanakan dengan terpadu bersama dengan departemen teknis lainnya, tampaknya fungsi guna dan dampaknya bagi peningkatan kesejahteraan rakyat tidak akan optimal.
Pembangunan daerah tertinggal dan pengentasan kemiskinan merupakan kegiatan yang terintegrasi. Sejak tahap perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi program perlu dilakukan bersama oleh departemen teknis terkait. Perlu adanya kesepahaman dan kerangka berpikir yang disepakati bersama dengan penekanan tujuan akhir peningkatan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat.
B. Jaring Pengaman Sosial (JPS)
            Jarimg Pengaman Sosial adalah jaring pengaman adalah jaring pengaman atau penyelamat masyarakat, keluarga, dan perorangan yang sedang dalam kesusahan atau dengan kata lain upaya pemerintah untuk menyalurkan bantuan kepada masyarakat dalam wadah pengelolaan keuangan yang lebih terpadu, trasparan, dapat dipertanggunjawabkan, dan memberikan akses langsung kepada masyarakat secara cepat serta berkesinambungan.
Jaringan Pengaman Sosial (JPS) tercipta karena adanya kesadaran akan krisis yang beralih dengan cepat sekali dari suatu krisis moneter menjadi krisis ekonomi, krisis keamanan dan akhirnya jadi suatu krisis politik sosial dan krisis moral.
 Jaring ditebar melalui kerja dan upaya bersama antara instansi-instansi pemerintah, relawan dan Lembaga-lembaga Swadaya Masyarakat (LSM)
Dari definisi singkat ini dapat ditegaskan bahwa JPS adalah “program darurat” untuk menolong orang yang sedang dalam kesusahan, dalam bahaya, bisa bahaya “ kebakaran” atau akan tenggelam karena “kebanjiran”. Ibarat bhaya kebanjiran mungkin lebih tepat karena mereka yang hidup di bawah garis kemiskinan atau hampir “tenggelam” memang harus ditolong lebih dulu ketimbang mereka yang air banjirnya baru mencapai lutut, sedangkan “kobaran api” yang membakar rumah jelas tidak perlu membedakan orang kaya atau orang miskin, semuanya perlu pertolongan segera.
Tujuan pokok program JPS adalah sebagai berikut :
a   Menciptakan kesempatan kerja produktif bagi para penganggur di berbagai sektor kegiatan ekonomi,
b     Meningkatkan pendapatan dan daya beli masyarakat,
c)  Meningkatkan kesejahteraan sosial-ekonomi masyarakat, terutama yang terkena dampak langsung kondisi krisis, dan
d) Mengkoordinasikan berbagai program pembangunan penanggulangan dampak krisis dan berbagai program penanggulangan kemiskinan.
B. PELAKSANAAN KEGIATAN
Program JPS yang telah disusun pemerintah meliputi empat program prioritas, yaitu :
1. Program ketahanan pangan, dilaksanakan agar masyarakat miskin dapat memperoleh pangan dengan mudah dan terjangkau, program ini dilaksanakan melalui empat skim yaitu ;
-
Skim cadangan pangan ; dengan memberikan subsidi harga komoditas seperti beras, gula, minyak goreng, tepung, dan kacang-kacangan.
-
Skim bantuan pangan dilaksanakan melalui Operasi Pasar Khusus (OPK),berupa penyediaan beras kepada Keluarga Sejahtera I dan Keluarga Prasejahtera.
-
Skim Intensifikasi Produksi pangan berupa pemberian bantuan teknis kepada para petani, yang dilaksanakan bekerja sama dengan lembaga penelitian dan universitas.
-

Skim subsidi pupuk dan modal berupa pemberian subsidi atas impor pupuk dan subsidi modal kepada petani yang akan membeli alat-alat produksi melalui program Kredit Usaha Tani (KUT).

2. Program padat karya dan penciptaan lapangan kerja produktif dilakukan antara lain melalui perluasan progran padat karya yang telah ada selama ini yang mencakup pekerjaan pemeliharaan dan perbaikan infrastruktur, seperti jaringan irigasi, sistem pengairan, jalan, dan gedung sekolah. Program ini dilaksanakan baik di wilayah pedesaan maupun perkantoran.
3. Program pengembangan usaha kecil dan menengah diarahkan untuk menciptakan mekanisme yang menjamin lingkungan bisnis yang adil dan produktif, termasuk pemberian kredit murah bagi usaha kecil, menengah, dan koperasi.
4. Program peningkatan pelayanan sosial dasar; dengan memperiolitaskan pelayanan masyarakat di bidang kesehatan ( untuk memperbaiki dan menjaga tingkat kesehatan serta gizi keluarga miskin melalui pemberian pelayanan kesehatan di puskesmas, pemeriksaan kehamilan dan pelayanan persalinan gratis bagi penduduk miskin, pemberian makanan tambahan untuk memulihkan ibu hamil, nifas dan meyusui termasuk untuk bayi berusia 6-24 bulan yang mengalami kekurangan gizi kroni ) dan dibidang pendidikan ( Untuk mempertahankan tingkat enrollment rate dan menjaga agar tidak terjadi drop out bagi siswa sekolah. Program ini dilaksanakan antara lain dalam bentuk pembebasan berbagai pungutan dan pemberian bea siswa ).
Keempat program tersebut di atas tertuang dalam 17 sektor pembangunan dengan alokasi anggaran dalam APBN Juli 1998 sebesar Rp. 17,25 triliun, yang direvisi pada bulan September 1998 menjadi Rp. 17,99 triliun, Jumlah ini merupakan 19,4 % dari total pengeluaran pembangunan selama tahun 1998/1999. Sehubungan dengan rendahnya realisasi JPS, pemerintah akan memperpanjang pelaksanaan program ini dalam anggaran sampai Juni 1999. Angka realisasi akhir program JPS diperkirakan akan mencapai Rp. 16,25 triliun atau 90,3 % dari total alokasi anggaran sebesar Rp. 17,99 Triliun.
Lambannya penyerapan JPS di lapangan disebabkan oleh 2 (dua) kendala utama Yaitu :
1. Data yang akurat dan lengkap mengenai penduduk miskin di suatu daerah terbatas.
2. Sistem pemantauan dan pengendalian pelaksanaan JPS di lapangan masih belum memadai. Untuk mengatasi kendala-kendala tersebut, dan untuk mencegah terjadinya kebocoran dana, pemerintah mengeluarkan Keppres No.190/1998 mengenai pembentukan gugus tugas peningkatan JPS. Bappenas juga telah merancang dan mengkoordinasikan suatu program pemberdayaan Daerah dalam mengatasi dampak krisis ekonomi (PDAM-DKE), yang disusun dengan menggunakan pendekatan komunitas dan prinsip-prinsip yang dapat membantu mempercepat dan mengefisienkan pelaksanaan JPS di lapangan yaitu :
a. Penyaluran bantuan harus dilakukan secara cepat dan langsung��� sampai kepada kelompok penerima manfaat.
b. Rencana kegiatan harus dapat diketahui oleh seluruh lapisan masyarakat dengan mudah dan terbuka.
c. Seluruh kegiatan harus dapat dipertanggungjawabkan baik secara teknis maupun administratif.
d. Hasil kegiatan harus dapat dilestarikan dan dikembangkan oleh masyarakat sendiri dalam wadah organisasi masyarakat setempat.
Indonesia Sedang “Sakit” atau Sedang “Pingsan”?
            Dalam seminar tentang prospek Ekonomi Global 1998-1999 tanggal 26 Januari 1999, muncul 2 pendapat berbeda tentang sifat masalah ekonomi yang sedang dihadapi Indonesia. Pendapat pertama menyatakan bahwa ekonomi indonesia sedang sakit keras yang membutuhkan obat mujarab dan dokter yang hebat. “Penyakit ekonomiIndonesia sulit diobati dan obat apapun dikhawatirkan tidak manjur. Sayang, dokternya hanya satu yaitu IMF dan tidak ada dokter lain yang bisa menolong”. Pendapat kedua adalah bahwa sesungguhnya ekonomi Indonesia tidak sedang sakit tetapi “pingsan”, sehabis terpukul “knock out” dari “perkelahian tak seimbang”. Indonesia kalah telak karena disamping perkelahian bersifat “free fight” (non level playing field) juga karena “aturan main” dibuat oleh “mereka”, yaitu aturan “sistem ekonomi kapitalisme”. Pendapat atau versi kedua rasanya lebih cocok karena Indonesia dewasa ini sudah merupakan bagian dari ekonomi dunia dan tidak lagi dalam kondisi terisolasi dari perekonomian dunia. Jika ingin terjadinya “perkelahian” yang lebih adil dan seimbang, indonesia harus dan berhak untuk ikut menetapkan aturan main “pertinjuan”. Maka aturan main “ekonomi pancasila: atau “ekonomi kerakyatan” harus menjadi acuan.  
            Melalui sistem ekonomi kerakyatan bangsa Indonesia berusaha menghimpun kekuatan nasional dan kekuatan rakyat seperti waktu kita akhirnya berhasil memenangkan perang kemerdekaan melalui sistem perang gerilya. Pada waktu itu dengan alat/senjata seadanya kita dapat menang karena kita benar-benar didukung dan mengandalkan pada kekuatan ekonomi rakyat. Secara kongkrit “perang gerilya ekonomi” hanya bisa dimenangkan melalui pengembangan dan pemihakan penuh pada ekonomi rakyat., berupa upaya-upayapenanggulangan kemiskinan massal melalui program-program Jaring Pengaman Sosial (JPS) dan pada peningkatan desentralisasi dan otonomi daerah dengan secepatnya menghapuskan ketimpangan ekonomi dan kesenjangan sosial (TAP MPR No. X,XV,dan XVI/1998).
            Ekonomi kerakyatan adalah sistem ekonomi (demokratis) yang dioperasionalkan melalui peihakan dan perlindungan penuh pada sektor ekonomi rakyat (kecil). Mendengarkan dan menampung aspirasi rakyat secara langsung dan mendasarkan segala kebijaksanaan ekonomi pada kepentingan rakyat banyak adalah kunci memenangkan “perang ekonomi” yang kita hadapi dewasa ini.



Strategi Menanggulangi Krisis Ekonomi
          Salah satu asumsi lain program-program JPS adalah bahwa tanpa bantuan pemerintah penduduk miskin di pedesaan tidak akan bisa bertahan hidup, sehingga dikhawatirkan akan benar-benar menderita kelaparan seperti halnya yang telah terjadi di irian Jaya 1997.
            Menghadapi masyarakat desa yang demikian dinamis di daerah-daerah tertentu tidaklah pada tempatnya diadakan program-program JPS secara seragam lebih lebih berupa pemberian santunan sosial seperti pemberian beras murah. Karena perbedaan persepsi tentang krisis ekonomi diantara warga masyarakat termasuk para pakar ekonomi, dan antara berbagai kelompok masyarakat desa yang berbeda-bedatahap perkembangannya, maka efektivitas pelaksaan program-program JPS juga sangat berbeda. Yang paling aman adalah “mempercayakan pelaksaan program JPS sejauh mungkin kepada warga masyarakat sendiri. 

Ekonomi Rakyat Tahan Banting
            Dalam buku yang sudah menjadi klasik tulisan R.H Tawney,Land and Labor in china (1932)diuraikan sebab-sebab mengapa petani China kelak harus berontak melawan siapapun yang selalu memerasnya. Ditanya pendapatnya tentang pemerintahan Chiang Kai-Shek sekitar tahun 1929, Tawney menyatakan bahwa kondisi petani di pelosok-pelosok desa di China dianggapnya sangat tertekan, mereka hidup dalam kemiskinan luar biasa, sehingga bencana-bencana kelaparan “terlalu biasa” dalam kehidupan mereka.
            Bagaimana kondisi petani dan warga pedesaan di indonesia dewasa ini? Adakah kemajuan sejak menjadi negara merdeka tahun 1945? Indonesia sebagai negara dengan penduduk terbesar  nomor 4 di dunia sudah mengalami banyak kemajuan dan standar hidup warganya pada umumnya sudah bertambah baik. Namun yang menjadi masalah adalah seperti halnya Cina yang wilayahnya sangat luas, Indonesia terbagi-bagi atas daerah-daerah yang amat berbeda taraf kemajuannya.
            Reformasi telah membawa banyak perubahan dalam perekonomian Indonesia dan peranan sektor pertanian di dalamnya. Hal yang menonjol adalah kesadaran (kembali) bahwa peranan pertanian benar-benar tidak lagi dapat diabaikan dalam perekonomian nasional. Lebih-lebih dalam krisis ekonomi, nilai tukar hasil-hasil pertanian (nilai tukar petani) pada umumnya mengalami perbaikan yang menguntungkan petani dan ekonomi nasional menjadi “terlindungi” dari kemerosotan yang lebih parah.
            Globalisasi adalah fenomena lain yang cukup “membingungkan” berbagai fihak bagaimana menyikapi secara benar. Globalisasi bukanlah “dewa penolong” atau sebaliknya “hantu”, tetapi suatu proses perkembangan ekonomi yang merupakan bagian yang tak terpisahkan dari kemajuan ekonomi dan teknologi dunia. Dalam prosses kemajuan ini para kapitalis memegang kunci yang akan memenangkan permainan. Dan sebaliknya negara-negara berkembang harus membayar mahal biayanya atau bahkan bisa hancur berantakan jika salah dalam menanggapinya.
            Cara terbaik menghadapi proses globalisasi yang berbahaya, mahal, dan penuh resiko ini tidak banyak pilihannya, tetapi harus berprinsip pada rasa percaya diri atau dengan semangat kemandirian mengandalkan pada kekuatan ekonomi rakyat banyak. Kekuatan ekonomi rakyat banyak tidak lain adalah sektor ekonomi rakyat itu sendiri yang sebagian besar masih amat lemah.

Jaring Pengaman Sosial sebagai program Darurat
            JPS adalah jaring yang ditebar untuk “mengamankan” atau “menyelamatkan” orang miskin dari kondisi yang “tidak aman” ke kondisi yang “lebih aman” dan yang akan diselamatkan dengan jaring pengaman adalah mereka yang benar-benar terkena dampak negatif krisis ekonomi, baik yang sudah hidup miskin sebelum krisis (miskin lama) maupun yang menjadi miskin sejak terjadinya krisis (miskin baru).

IDT dan JPS
            Ada beda besar antara program IDT yang dilaksanakan dalam suasana normal, jauh sebelum terjadinya krisis ekonomi (1994) dengan program JPS yang diadakan karena ada krisis. Dalam kondisi krisis pemerintah bisa “keliru” atau tidak tepat dalam menetapkan sasaran peogram. Pertama, mereka yang jatuh miskin memang bertambah dengan jumlah yang amat besar sehingga data penduduk miskin yang ada telah banyak bertambah. Data-data keluarga prasejahtera tidak relevan lagi.; kedua pemerintah tidak mau mengambil resiko dengan cara melaksanakan program JPS dimanapun di seluruh Indonesia, meskipun besarnya dana per desa tidak sama karena didasarkan pada data-data usulan di bawah. Inilah awal dari masalah “ketidakadilan” yang dirasakan oleh daerah-daerah yang mendapat dana sedikit ; ketiga, JPS sebagai proyek (seperti PDM-DKE) memang berarti ada pimpro-pimpro yang “berkuasa” atau berwenang mengatur “ketertiban” proyek. Ia mempunyai hak atas honor dan berhak menunjuk atau mengusulkan orang-orang lain menjadi fasilitator (konsultan) yang memperoleh honor karena bekerja untuk proyek yang bersangkutan ; keempat, sebagai program/proyek nasional, pedoman umum apapun memerlukan banyak “penyesuaian” dengan kondisi daerah yang berbeda-beda, padahal seperti halnya dalam PDM-DKE juga ada “pesan” agar cepat dicairkan. Programnya sendiri baru “diresmikan” akhir Oktober 1998, dan banyak yang baru di “SK”kan Gubernur atau Bupati pada akhir Desember atau bahkan awal januari 1999, sehingga proses pencairan dananya praktis hanya tersedia waktu 3 bulan sampai dengan maret 1999.

Peran LSM
            Keterlibatan LSM merupakan keharusan dalam JPS, padahal di kebanyakan daerah “hubungan akrab” antara LSM dan pemda sering belum tercapai. Maka yang terjadi adalah “kecurigaan” satu sama lain. Menurut seorang pengamat, LSM dianggap lebih sering “ngrecoki” ketimbang membantu melancarkan jalannya program/proyek.
            Dalam kenyataan pelaksanaan PDM-DKE, misalnya di Jawa Barat dan propinsi DIY, LSM dan Perguruan Tinggi setempat dapat bekerja sama dalam suasana akrab dan saling pengertian, sehingga tidak muncul peristiwa salah menyalahkan, seperti halnya LKMD yang banyak “dicurigai” di DKI Jakarta atau medan.
            Harus diakui bahwa definisi JPS memang belum pernah ada sehingga membuka peluang orang bertanya jaring pengaman (buat) siapa? JPS adalah jaring pengaman atau penyelamatan masyarakat, keluarga, atau orang yang sedang susah sebagai akibat krisis ekonomi, dibuat dan dipakai secara bersama-sama oleh instansi-instansi pemerintah, para relawan dan LSM. Dari definisi ini jelas bahwa mereka yang akan ditolong haurslah yang benar-benar sedang susah dan bahkan yang sedang “menikmati” krisis. Pemerintah memegang peranan utama dengan menggali sumber dana JPS dari dalam maupun luar negeri dan selanjutnya “menyerahkan” kepada Pemda dan masyarakat untuk melaksanakannya. Di daerah-daerah (propinsi sampai desa/kelurahan) pemerintah harus bekerja sama erat dengan para relawan (di RT/RW) dan LSM karena dalam kondisi krisis pemerintah sendirian tidak akan mampu mengatasinya.
            Program JPS mendapat kritik dari masyarakat luas maupun LSM haruslah dianggan pertanda baik sebagai bukti keterlibatan dan kepedulian mereka yang ingin agar program ini benar-benar tepat mencapai sasarannya yaitu mereka yang sedang susah kehidupannya karena krisis ekonomi.

Mawas Diri Pembangunan Perdesaan
a.      Lemahnya keberdayaan komunitas desa tidaklah tercipta begitu saja. Disadari atau tidak, ia merupakan dampak akumulatif dari “malpraktek” pembangunan di masa lalu. Dalam kenyataannya, program-program lebih sering “memobilisasi” komunitas desa, menempatkan manusia dan masyarakat sebagai objek layaknya benda mati yang harus mengikuti apa yang telah digariskan oleh program (pembangunan) walau tak relevan dengan potensi dan kebutuhan pengembangan diri mereka.
b.      Sekrang kita m,emang dapat menyaksikan komunitas desa telah mengalami kemajuan fisik –material secara signifikan akibat pembangunan. Namun di balik kemajuan fisik-material tersebut yang terjadi sesungguhnya adalah kemandegan kalau bukan kemunduran sosial-budaya. Manusia desa seakan menjadi “robot-robot” pembangunan, tidak lagi memiliki prakarsa , daya cipta dan wawasan ke depan. Kemundurfan yang paling nyata terletak pada memudarnya modal sosial komunitas desa yakni terjadinya disorganisasi dan disintegrasi sosial yang tak memungkinkan masyarakat bkerja secara efisien. Fenomena ini tampak dari melemahnya kemandirian (keswadayaan dan partisipasi) masyarakat bersamaan dengan menguatnya ketergantungan komunitas desa pada bantuan dan petunjuk dari petunjuk pihak luar.
c.      Dalam konteks yang lebih luas menguatnya ketergantungan komunitas desa tak lain adalah sumber dari apa yang disebut sebagai kegiatan pembanguanan yang berbiaya tinggi (boros).























DAFTAR PUSTAKA

Murbyartodan Boediono.1981.Ekonomi Pancsila.Yogyakarta : BPFE.
Drs.Ibnu Syamsi S.U.1983. Dasar-Dasar Kebijaksanaan Keuangan Negara.Yogyakarta : Rineka Cipta.
Edi Swasono,Sri.1985.Sistem Ekonomi dan Demokrasi Ekonomi.Jakarta : UI-Press.
Drs.M.Suparmoko,Ph.D.M.A.2001.Ekonomi Publik : Untuk keuangan dan Pembangunan Daerah. Purwokerto : Andi Yogyakarta.
Murbyarto.2000.Membangun Sistem Ekonomi.Yogyakarta:BPFE.
Http://repository.ui.ac.id/