Apabila kita bertanya system
perekonomian apa yang akan kita pakai dan dimana letak atau sumbernya dalam
Pancasila? Jawabannya adalah bahwa system ekonomi terkandung dalam sila kelima,
yaitu “ Keadilan social bagi seluruh rakyat Indonesia.” Dalam rangka
mewujudkan masayarakat yang adil dan
makmur yang sesuai dengan Pancasila, maka system ekonomi yang harus dibangu
adalah system ekonomi yang pada dasarnya bersifat kekeluargaan atau bersifat
gotong royong. System ekonomi Pancasila yang merupakan suatu system guna
mewujudkan cita-cita keadilan sosial yang menyangkut bidang ekonomi, tercantum
dengan jelas pada bab XIV pasal 33 UUd 1945 yang berbunyi:
1. Perekonomian
disusun sebagai usaha bersama atas asas kekeluargaan.
2. Cabang-cabang
produksi yang penting bagi Negara dan menguasai hajat hidup orang banyak
dikuasai oleh Negara.
3. Bumi
dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara dan
digunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Dari
ayat-ayat tersebut dapat lebih dijelaskan bahwa:
1. Dasar
demokrasi ekonomi, dimana produksi dikerjakan oleh semua, untuk semua dibawah
pimpinan atau penilikan anggota-anggota masyarakat.
2. Kemakmuran
masyarakat diutamakan
3. Perekonomian
harus disusun sebagai usaha bersama atas asas kekeluargaan.
4. Cabang-cabang
produksi yang penting dikuasai oleh Negara
5. Bumi,
air, dan kekayaan alam yang terkandung dalam perut bumi Indonesia
dikuasai oleh Negara untuk dipergunakan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Dari penjelasan-penjelasan tersebut
dapat disimpulkan bahwa sifat-sifat dan cirri-ciri system ekonomi yang harus
disusun adalah dengan adanya; demokrasi ekonomi, kemakmuran masyarakat, asas
kekeluargaan, ikut campurnya Negara dalam cabang-cabang produksi dan sumber
daya alam yang penting (vital).
Kemudian yang menjadi pertanyaan
adalah, kebijakan seperti apa yang akan mendukung terlaksananya ekonomi
pancasila (kerakyatan) dan kebijakan apa sajakah yang member solusi bagi
permasalahan-permasalahan yang ada dalam system ekonomi tersebut?
Kebijakan-Kebijakan
Yang Mendukung Ekonomi Pancasila (Kerakyatan)
Menyusun kebijakan yang optimal dalam pemberdayaan
ekonomi rakyat memang bukan merupakan pekerjaan mudah. Permasalahan
seperti mencari keseimbangan antara intervensi dan partisipasi, mengatasi
konflik kepentingan, mencari instrumen kebijakan yang paling efektif, membenahi
mekanisme penghantaran merupakan tantangan yang tidak kecil. Yang dapat
dilakukan adalah mengusahakan mencoba mengusahakan agar kebijakan pemberdayaan
ekonomi rakyat tersebut dapat mewujudkan suatu ekonomi rakyat yang berkembang –
meminjam jargon yang sangat terkenal – dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk
rakyat. Dalam semangat demokratisasi yang berkedaulatan rakyat, hal
tersebut berarti kebijakan yang dilakukan perlu dapat menjamin agar kegiatan
ekonomi mencerminkan prinsip-prinsip :
Dari
rakyat; rakyat banyak memiliki kepastian penguasaan dan aksesibilitas terhadap
berbagai sumberdaya produktif, dan rakyat banyak menguasai dan memiliki hak
atas pengambilan keputusan produktif serta konsumtif yang menyangkut sumberdaya
tersebut. Pemerintah berperan untuk memastikan kedaulatan tersebut
dilindungi dan dihormati sekaligus mengembangkan pengetahuan dan kearifan
rakyat dalam pengambilan keputusan.
Oleh
rakyat; proses produksi, distribusi dan konsumsi diputuskan dan dilakukan oleh
rakyat. Dalam hal ini sistem produksi, pemanfaatan teknologi, penerapan
azas konservasi, dan sebagainya perlu dapat melibatkan sebagian besar rakyat.
Pemberian ‘hak khusus’ kepada segelintir orang untuk mengembangkan ‘kue
ekonomi’ dan kemudian baru ‘dibagi-bagi’ kepada yang banyak tidak sesuai dengan
prinsip ini. Kreativitas dan inovasi yang dilakukan rakyat harus mendapat
apresiasi sepenuhnya.
Untuk
rakyat; rakyat merupakan ‘beneficiaries’ utama dalam setiap kegiatan ekonomi
sekaligus setiap kebijakan yang ditetapkan. Jelas bahwa korupsi,
dominasi, dan eksploitasi ekonomi tidak dapat diterima.
A.
Sistem
Ekonomi Pancasila dan Pemerataan
Memang pemerataan secara penuh tidak
akan mungkin dcapai, yang bisa dicapai adalah sekedar mengurangi ketimpangan
yang ada. Pada prinsipnya disetiap Negara dimanapun tidak membiarkan adanya
ketimpangan dalam pembagian kekayaan dan pendapatan, karena setiap ketimpangan
selalu mengandung bahaya terjadinya keresahan dan ketidakstabilan masyarakat.
Oleh karena itu, pemerintah menyusun beberapa kebijakan untuk menghindari
terjadinya ketimpangan dalam masyarakat, antara lain:
1. Keputusan
presiden no. 14 dan 14A dimaksudkan antara lain agar golongan ekonomi lemah
mendapat kepastian berpartisipasi dalam berbagai bidang usaha tanpa harus
berkompetisi secara sengit dengan golongan ekonomi kuat.
2. Menggunakan
koperasi unit desa (KUD) yang merupakan usaha “non market”
3.
System
pembagian beras kepada pegawai negeri dan ABRI. Dengan cara ini pemerintah
berusaha melindungi pengawai-pegawainya dari kemungkinan kesusahan yang
diakibatkan oleh system pasar terutama dalam keadaan inflasi.
4.
System
monopoli yang dilakukan pemerintah dalam cabang-cabang produksi seperti
produksi beras yang dihimpun dalam BULOG, bertujuan untuk melindungi konsumen
jika terjadi gagal panen.
B. Sistem
Ekonomi Pancasila dan Perdagangan Luar Negeri
Dalam system ekonomi Pancasila bidang perdagangan luar
negeri perlu mengusahakan:
1. Peningkatan
eksport
Peningkatan eksport harus dilakukan dengan
memperhitungkan kebutuhan sendiri akan devisa Negara. Disamping itu perlu terus
diusahakan stabilitas harga barang-barang eksport pada tingkat harga yang
menguntungkan melalui kerja sama yang lebih erat antar Negara pengeksport dan
pengertian yang lebih baik dari Negara-negara pengimport mengenai kedudukan
Negara kita.
2. Diversifikasi
eksport
Usaha untuk meningkatkan macam komoditi eksport perlu
ditingkatkan. Restrukturisasi komposisi eksport perlu terus ditingkatkan,
sehingga tekanan eksport beralih dari bahan mentah menjadi barang jadi yang
mempunyai efek positif bagi penyerapan tenaga kerjha, pengalihan teknologi,
peningkatan keterampilan, dan peningkatan nilai tambah.
3. Perluasan
pasar eksport
Dalam system ekonomi pancasila, eksport harus
disalurkan pada lebih banyak negar-negara pengimport yang relative lebih
merata. Dengan demikian,
dapat diharapkan ketergantungan pada negar-negara tertentu menurun.
4. Komposisi
import yang lebih baik
Komposisi import harus terus diusahakan agar
mencerminkan dan sejalan dengan
perkembangan perubahan struktur ekonomi yang ada di dalam negeri, guna
mendukung perkembangan kea rah tumbuhnya industry-industri pengolahan. Import
bahan baku,
bahan penolong, dan peralatan modal harus tetap mendapatkan prioritas utama,
sedangkan import barang-barang konsumsi bukan pokok harus diberi prioritas
terakhir.
5. Kebijaksanaan
tariff dan subsidi
Kebijaksanaan dalam bidang bead an subsdi, baik
untuk import maupun eksport dalam system ekonomi pancasila perlu dipergunakan
dengan cukup hati-hati, terutama untuk tujuan-tujuan pembagian pendapatan
nasional yang adil serta untuk
menghindari persaingan yang kurang baik, dan untuk melindungi industry-industri
muda dalam negeri.
6. Kebijaksanaan
terhadap pendapatan modal asing
Dalam keadaan yang normal, system ekonomi pancasila
tidak menghendaki adanya campur tangan pemerintah terhadap transaksi-transaksi
pendapatan modal luar negeri, dengan syarat tidak mengganggu stabilitas politik
dan ekonomi di dalam negeri.
7. Kebijaksanaan
terhadap modal asing
Pada dasarnya pemasukan modal asing dan teknologi
maji tetap didorong bagi kepentingan pembangunan. Walaupun demikian pemerintah
tetap perlu menentukan aturan permainannya sejalan dengan tahap-tahap pembangunan
yang sedang dicapai dan kebutuhan-kebutuhan di masa datang.
8. Saluran
distribusi
Dalam system ekonomi pancasila pada dasarnya eksport
dan import dilaksanakan oleh ketiga agen ekonomi, yaitu pemerintah, sector
swasta dan koperasi. Ketiga agen tersebut harus mempu menjalin kerja sama yang
saling mendukung bagi terciptanya kelancaran arus distribusi barang dan jasa.
9. Kebijaksanaan
harga
Dalam penentuan harga , pemerintah hanya campur
tangan menentukan haraga barang-barang vital yang digunakan untuk memenuhi
kebutuhan pokok dan barang-barang yang flutuasi harganya dapat menganggu
kestabilan ekonomi dan politik dalam negeri.
10. Kebijaksanaan mengenai keanggotaan lembaga-lembaga
ekonomi internasional
System ekonomi pancasila aktif berpartisipasi dalam
lembaga-lembaga ekonomi internasional sepanjang:
a) Diperkirakan
bermanfaat bagi perekonomian Indonesia
b) Diperkirakan
besar pengaruhnya terhadap perekonomian dunia dan Negara berkembang pada
khususnya.
C. System
Ekonomi Pancasila dan Masalah Makro
Dalam system ekonomi pancasila juga timbul
masalah-masalah ekonomi makro, seperti: inflasi, dan pengangguran. Berikut ini
adalah kebijakan-kebijakan untuk mengatasai permasalahan tersebut.
1. Inflasi
Ada
dua macam inflasi utama, yaitu inflasi yang ditimbulkan karena kelebihan permintaan
(demand inflation) dan inflasi yang timbul karena kenaikan ongkos produksi
(cost inflation).
a) Demand
inflation
Deman inflation timbul karena permintaan agregat
melebihi penawaran agregat. Inflasi adalah sumber dari ketidakmerataan ekonomi
dan social, dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Inflasi lebih membebani
pada mereka yang berpenghasilan tetap dan rendah. Oleh sebab itu, dalam ekonomi
pancasila secara prinsip inflasi harus dijauhi.
b) Cost
inflation
Cost inflation yang disebabkan oleh fenomena gagal
panen dapat diatasi dengan beberapa cara yaitu, dengan mengimport pangan agar
harga bahan pangan di dalam negeri tetap stabil. Selain itu, usaha lainnya
adalah dengan memberikan subsidi kepada para petani yang menurun pendapatannya
karena gagal panen.
Sedangkan cost inflation yang disebabkan oleh
tekanan atau impulse kenaikan-kenaikan harga-harga luar negeri, maka pemerintah
akan berusaha untuk mencegah agar “penularan” inflasi tidak masuk ke dalam
negeri. Perekonomian nasional dapat memadukan secara optimal keharusan untuk
mengintegrasikan diri dengan perekonomian internasional untuk memperoleh
manfaat-manfaatnya dan keharusan mengisolir perekonomian nasional dari gangguan
dari luar negeri.
2. Pengangguran
Masalah
pengangguran mempunyai 2 dimensi yaitu, jangka panjang dan jangka pendek.
Pengangguran jangka pendek disebabkan karena tingkat dan komposisi permintaan
agregat masayarkat tidak sesuai dengan tingkat dan komposisi dari tenaga
manusia dan sumber-sumber ekonomi yang ada. Sedangkan masalah pengangguran
jangka panjang timbul karena masalah kependudukan dan pembangunan ekonomi.
Pertumbuhan ekonomi yang merata dan pengendalian laju pertumbuhan penduduk
adalah obat jangka panjang bagi masalah pengangguran. Lebih khususnya lagi,
pemerintah mengupayakan dengan cara mendirikan balai latihan kerja (BLT) yang
dapat melatih keterampilan yang mereka miliki agar bisa lebih berkembang dalam
menyesuaikan keterampilan yang dibutuhkan oleh perusahaan-perusahaan. Selain
itu pemerintah juga mengeluarkan kebijakan yang mempermudah para wirausahawan
untuk merintis UKM mereka, sehingga dari UKM itu bias menciptakan lapangan
kerja baru yang dapat menampung para pengagguran tersebut. UKM memiliki peran penting bagi
masyarakat di tengah krisis ekonomi. Dengan memupuk UKM diyakini pula
akan dapat dicapai pemulihan ekonomi. Hal serupa juga berlaku bagi sektor
informal. Usaha kecil sendiri pada dasarnya sebagian besar bersifat
informal dan karena itu relatif mudah untuk dimasuki oleh pelaku-pelaku usaha
yang baru. Pendapat mengenai peran UKM atau sektor informal tersebut ada
benarnya setidaknya bila dikaitkan dengan perannya dalam
meminimalkan dampak sosial dari krisis ekonomi khususnya persoalan
pengangguran dan hilangnya penghasilan masyarakat. UKM boleh dikatakan merupakan
salah satu solusi masyarakat untuk tetap bertahan dalam menghadapi krisis yakni
dengan melibatkan diri dalam aktivitas usaha kecil terutama yang
berkarakteristik informal. Dengan hal ini maka persoalan pengangguran
sedikit banyak dapat tertolong dan implikasinya adalah juga dalam hal
pendapatan.
Peran Perguruan Tinggi Dalam
Pemberdayaan Ekonomi Kerakyatan
Perguruan Tinggi sebagai institusi untuk menciptakan
insan intelektual, dan sekaligus membentuk sumber manusia insani yang
berkualitas. Sebagai institusi Perguruan Tinggi memiliki folosofis yang dikenal
dengan Tridharma Perguruan Tinggi, yakni darma pertama sebagai lembaga
pendidikan dan pengajaran, dharma kedua penelitian, dan dharma ketiga
pengabdian kepada masyarakat. Hal ini sejalan dengan Pasal 1 ayat 16 UU No 2
Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional menyebutkan bahwa :
Pengembangan perguruan tinggi diarahkan pada kemampuan menyelenggarakan
pendidikan, penelitian dan pengabdian kepada masyarakat, yaitu kegiatan yang
disebut Tridarma Perguruan Tinggi.
Selanjutnya dijelaskan pada PP No 30/1990, yang
menyatakan bahwa : dalam lingkup perguruan tinggi tercermin adanya kelompok
kegiatan akademik yang mencakup misi dan fungsinya, yakni (a) pendidikan
merupakan kegiatan penyampaian, penciptaan, dan pengembangan IPTEKS, (b)
penelitian merupakan kegiatan penemuan, dan (c) pengabdian kepada masyarakat
merupakan kegiatan penerapan IPTEKS yang meliputi kegiatan pengembangan,
penyebarluasan dan pembudayaan IPTEKS. Hal ini berkonotasi bahwa penyelenggaraan
pendidikan, penelitian dan pengabdian kepadamasyarakat harus saling menunjang
dan melengkapi, yang merupakan suatu sistem.
Perguruan Tinggi sebagai lembaga yang mempunyai
fungsi tridarma yang berkaitan dengan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni
(IPTEKS), perguruan tinggi menyelenggarakan pendidikan tinggi dan penelitian
serta pengabdian kepada masyarakat. Perguruan Tinggi dalam perannya sebagai the
agent of national development dituntut untuk mampu mengembangkan setiap
darmanya secara fungsional dan integral sehingga mampu mencapai posisi dan
statusnya sebagai masyarakat ilmiah.
Program-Program pendukung Ekonomi Kerakyatan
A. Inpres Desa
Tertinggal (IDT)
Program Inpres Desa Tertinggal (IDT) yang dilandasi oleh
Kebijakan Keputusan Presiden (Kepres) No. 3 tahun 1993 tentang Peningkatan
Penanggulangan Kemiskinan telah berjalan sejak 1 April 1994. Program ini secara
ideal adalah untuk memberdayakan kaum miskin dan desa tertinggal baik di
pedesaan maupun perkotaan. Dari dimensi politis program ini adalah untuk
menunjukkan bahwa pembangunan adalah untuk rakyat, artinya kepedulian
pemerintah terhadap kaum tertinggal (penduduk dan desa miskin) bukan sekedar
slogan
pembangunan. Sebuah program adalah perencanaan yang terkadang antara konsep dan
pelaksanaan di lapangan berbeda, perbedaan ini dapat disebabkan oleh konsep
yang terlalu sulit untuk diterapkan, pelaksana di lapangan yang tidak mampu
menerjemahkan suatu konsep ataupun kedua-duanya.
Pelaksanaan program IDT di desa yang menjadi lokasi
penelitian menunjukkan kurangnya sinkronisasi dan pengawasan program yang ketat
terutama dalam pemberian dana dari pemerintah. Kurangnya sinkronisasi menunjuk
pada pembangunan infrastruktur desa yang kurang diarahkan pada variabel
ketertinggalan desa.
Kurang tanggapnya Pemerintah Daerah dalam memberikan
informasi dan mempersiapkan penduduk miskin calon penerima IDT sehingga
terkesan program ini hanya'membagi-bagi dana tanpa membekali calon penerima
dengan manajemen pengelolaan dana yang memadai. Sedangkan pengawasan yang
kurang ketat menunjuk pada kurangnya instansi terkait dari pihak pemerintah
dalam memberikan pengawasan pengelolaan uang dari para penerima dana IDT atau
kurang ketat dalam mengevaluasi pengguliran dana, sehingga kurang jelas tingkat
keberhasilan dari kelompok-kelompok masyarakat sebagai basis penerima dana IDT.
Program IDT yang memberikan dana kepada masyarakat
tertinggal di desa tertinggal sebanyak Rp 20.000.000,- per desa/tahun dan
setiap desa penerima akan menerima selama 3 tahun berturut turut jadi dalam 3
tahun (1994, 1995 dan 1996) setiap desa penerima IDT mendapatkan dana sebanyak
Rp 60.000.000,- yang langsung diberikan kepada kelompok-kelompok masyarakat di
desa yang sengaja telah dibentuk untuk menyongsong program ini.
Dari banyaknya dana tersebut, jika dikelola dengan baik akan
memberikan prospek yang cerah pada setiap desa tertinggal. Pengawasan yang
ketat terhadap pengelolaan dana dari setiap penerima IDT sangat diperlukan demi
tercapainya program ini yakni memberdayakan masyarakat miskin. Pemberdayaan
masyarakat harus mencakup segala dimensi seperti sosial, ekonomi, budaya,
politik dan hukum. Artinya, dimensi ekonomi lewat pemberian dana IDT kepada
masyarakat tertinggal harus pula dibarengi dengan pemberdayaan dimensi lain
agar sesuai dengan maksud dan tujuan pemerintah yakni pembangunan disegala
bidang. Pembangunan yang berhasil apabila semua program mampu membangkitkan
daya masyarakat untuk secara otonom menjadi subjek dalam pembangunan.
Masalah kemiskinan memang sudah lama menjadi perhatian pemerintah,
tetapi mulai mencuat sekitar akhir tahun 70’an. Munculnya isu kemiskinan ini
bersamaan dengan isu pemerataan pembangunan. Tahun2 tersebut banyak badan2
dunia yang dengan sangat mudah memberikan pinjaman kepada pemerintah Indonesia,
apalagi kalau terkait dengan masalah kemiskinan. Kata miskin sendiri di
defenisikan oleh berbagai pihak secara ber beda2. Tetapi pada dasarnya semuanya
secara implicit mengandung arti ketidak mampuan seseorang untuk
memenuhi standar tertentu dari kebutuhan dasarnya yang berupa makanan dan non
makanan. Pada saat itu yang muncul dengan defenisi miskin adalah Biro Pusat
Statistik – BPS (2100 kalori per hari), Institut Pertanian Bogor –
IPB (Bapak Sayogyo dengan 1 kg beras per hari) dan World Bank ($1 per hari).
Beberapa waktu kemudian Prof Mubiyarto dari Universitas Gadjah Mada –
UGM juga mengeluarkan defenisi miskin ini. Jadi semua penduduk yang tidak
memenuhi kriteria ini masuk dalam kategori miskin. Dari berbagai defenisi ini
yang di pakai pemerintah adalah yang di keluarkan oleh BPS. Tentunya harus juga disadari bahwa masing2
punya kelebihan dan kekurangan. BPS menggunakan patokan 2100 kalori per hari
berdasarkan penelitian yang menyatakan kalau manusia untuk bergerak minimum
membutuhkan 2100 kalori. Dalam perjalanannya kriteria ini banyak
mengalami perbaikan misalnya komponent non makanan (sandang, perumahan,
pendidikan dan kesehatan) mulai mendapat tempat yang berarti dalam perhitungan.
Sekalipun sudah banyak mengalami perbaikan tetap saja banyak pro kontra
terhadap penentuan kriteria miskin ini.
Ada beberapa program pemerintah pada saat itu yang
diluncurkan untuk mengurangi jumlah penduduk miskin. Salah satunya adalah
program Inpres Desa Teringgal (IDT). Program ini muncul dengan didasarkan
atas pemikiran kalau kelompok masyarakat (pokmas) yang terbentuk dari bawah
akan lebih kuat ikatannya dan akan lebih mempercepat menolong seseorang keluar
dari kemiskinan (community-based development approach). Selain itu
pemikiran ini juga bertujuan mengurangi kesenjangan sosial dengan cara
meningkatkan kapabilitas sumberdaya manusia, tertutama pada kelompok-kelompok
masyarakat miskin. Pada saat itu program IDT diharapkan akan mampu meningkatkan
kemandirian penduduk miskin, meningkatkan pendapatan penduduk miskin dan
akhirnya meningkatkan juga kepedulian masyarakat terhadap kelompok miskin. Jadi
terlihat bahwa masyarakat miskin akan menjadi subject dari pembangunan. Total
dana yang di sediakan kira2 sebesar US$200 juta yang disediakan oleh
pemerintah. World Bank dan UNDP diminta untuk melakukan pengawasan secara independent.
Untuk menunjukkan keseriusan pemerintah dalam menanggulangi kemiskinan ini
pemerintah membentuk sekertariat tersendiri yang mengurusi masalah IDT dengan
tujuan mengurangi birokrasi yang ada.
Proses awal dari program ini adalah penentuan desa
tertinggal. Penentuan desa tertinggal ini dipercayakan kepada BPS. Desa
seperti apakah yang bisa disebut sebagai desa tertinggal. Ada sejumlah kriteria
(variable) yang digunakan untuk menentukan suatu desa masuk pada
kategori ini antara lain ketersediaan jalan utama desa, lapangan usaha bagi
mayoritas penduduk, fasilitas pendidikan, fasilitas kesehatan, fasilitas
komunikasi, kepadatan penduduk per km2, sumber air minum, sumber bahan bakar,
persentase penggunaan listrik dan persentase pertanian, jumlah penduduk miskin
dsb. Pada awalnya jumlah variable yang di pakai sekitar 27, tetapi
dalam perjalanannya banyak mengalami perubahan. Sebagian besar desa-desa tersebut berada di
Indonesia Tengah dan Timur. Suatu ketika dulu sekali, banyak daerah yang
protes ketika pemerintah pusat mengumumkan jumlah desa tertinggal di
masing-masing wilayah. Sebab dengan banyaknya jumlah desa tertinggal berarti
kinerja propinsi tersebut buruk, dan pembangunan gagal. Tetapi ketika beberapa
waktu kemudian ada pengumuman susulan bahwa setiap desa tertinggal akan
memperoleh dana IDT, maka setiap daerah pun berlomba-lomba merevisi angka
jumlah desa tertinggalnya supaya menjadi lebih banyak. Saat ini dari sekitar 70
ribuan desa, di perkirakan sekitar 45 persen masuk pada kategori desa
tertinggal dan sekitar 3,9 persen termasuk kedalam desa sangat tertinggal.
Setiap desa tertinggal diberi dana bergulir
sebesar Rp 20 juta per tahun selama tiga tahun. Dana tersebut akan bergulir di desa tersebut
paling tidak selama tiga tahun. Yang dimaksud dengan dana bergulir artinya dana
ini merupakan pinjaman yang harus di kembalikan (dicicil), dan dana tersebut
akan di pakai lagi oleh anggota pokmas yang lain dan seterusnya. Pada dasarnya
dana yang di pinjamkan ini untuk modal usaha bukan untuk konsumsi. Awal2
program ini diluncurkan terlihat sekali kalau banyak pokmas yang belum terbiasa
dengan usaha sendiri, sehingga di putuskan akan ada tenaga pendamping yang
disediakan oleh pemerintah. Tenaga pendamping ini tergantung pada keahlian apa
yang dibutuhkan oleh daerah setempat. Misalnya kalau desa tertinggalnya adalah
desa pantai maka yang akan di terjunkan adalah ahli perikanan atau kalau
daerahnya pertanian ya ahli pertanian. Dari beberapa pemantauan di lapangan
saat itu jenis usaha yang banyak dilakukan adalah berdagang bakso, berdagang
ikan, kue/warung kopi, berdagang barang kelontong, beternak ikan, dan
beternak ayam.
Tingkat keberhasilan program IDT ini menurut
beberapa penelitian di berbagai daerah sangat beragam. Pada saat itu saya
sebagai pion ikut juga membantu memantau program IDT ini. Di beberapa desa di
Kupang (NTT) yang saya kunjungi misalnya terlihat beberapa keluarga yang
berhasil menjalankan usahanya dan mampu mengembalikan dana tersebut. Tetapi
tidak bisa dipungkiri kalau tingkat kegagalannya juga cukup tinggi.
Penelusuran lanjutan untuk menjawab hal apa yang mengakibatkan ada yang
berhasil, sementara ada anggota pokmas lain yang tidak berhasil juga dilakukan.
Satu hal yang paling terasa adalah dengan birokrasi yang begitu berbelit di
Indonesia menyebabkan program ini mengalami banyak kendala dalam
pelaksanaannya. Kemacetan dalam penyaluran dana IDT ini juga banyak dikeluhkan.
Selain itu banyak uang yang hilang sebelum sampai ke pokmas, dan
kalaupun sampai biasanya yang menerima adalah kawan2 dalam lingkungan birokrat
sendiri, yang menurut mereka lebih mudah dipantau pengembaliannya. Anggota
pokmas yang berhasil ternyata jarang yang mulai usahanya dari awal, biasanya
anggota yang sudah punya usaha dan dengan adanya dana tambahan usahanya bisa
lebih maju. Tiga tahun setelah program IDT banyak yeng menyangsikan
keberhasilan program pemerintah tersebut. Tetapi kalau dilihat dari data
yang ada sejak pertengahan tahun 70’an hingga tahun 1996 di perkirakan rakyat miskin
di Indonesia menurun jumlahnya, sebelum krisis moneter yang melanda Asia di
tahun 1997.
Dalam harian kompas 27 Nov 2002 diberitakan bahwa
pada saat kunjungan ke dua desa IDT di kabupaten Kupang, NTT prof Dr Mubyarto
(guru besar fakultas ekonomi UGM) mengatakan kalau prospek program IDT di NTT
ini suram. Dia berkata begitu karena melihat kenyataan di Kupang tengah
misalnya ada 12 desa/kelurahan yang menerima dana IDT dengan total sebesar Rp
700juta, tetapi dari dana tersebut dilaporkan hanya Rp 157 juta yang
bergulir dan melibatkan 215 keluarga dari enam desa (hanya 6 persen dari total
keluarga miskin di Kupang tengah). Dia juga mengatakan sulit dimengerti mengapa
terjadi kemacetan seperti itu, apalagi sejak awal program ini pemerintah
provinsi dan kabupaten sudah mengangkat tenaga pendamping dengan pendidikan SMA
keatas untuk membantu. Dimanakah letak kesalahannya.
Setelah Inpres Desa Tertinggal (IDT) masih banyak
lagi program pemerintah yang ditujukan untuk menurunkan tingkat kemiskinan
misalnya Pembangunan Prasarana Pendukung Desa Tertinggal (P3DT), Program
Pembangunan Kecamatan (PPK), Program Penanggulangan Kemiskinan Perkotaan
(P2KP), dan Jaring Pengaman Sosial (JPS). Apapun program pemerintah memang
sebaiknya bertujuan meningkatkan kemandirian masyarakat untuk keluar dari
kemiskinan yang menurut Prof. Mubyarto bisa juga dimulai dari perbaikan
sektor pendidikan. Menurut beliau “…kebodohan akan menjadi salah satu sumber
utama kemiskinan mendatang. Ancaman ini yang tampaknya belum terlalu disadari.
Ini seharusnya menjadi cambuk bagi para pejabat guna meningkatkan keseriusan
terhadap masalah pendidikan…”.
Sasaran program Inpres desa tertinggal (IDT)
adalah meningkatkan kesejahteraan sosial ekonomi penduduk miskin melalui upaya
peningkatan kualitas sumberdaya manusia, peningkatan kemampuan permodalan,
pengembangan usaha dan kelembagaan usaha bersama. Oleh karena itu, untuk
mensukseskan program pemerintah ini maka perlu ada kajian tentang usaha
perikanan yang diusulkan oleh kelompok masyarakat nelayan. Penelitian ini
secara umum bertujuan untuk menganalisis faktor-faktor ekonomi dalam usahah
perikanan skala kecil untuk mengantisipasi era globalisasi di kawasan Asia
Pasifik. Secara khusus bertujuan menganalisis kelayakan ekonomis usaha
perikanan dalam program Inpres desa tertinggal di kecamatan Wori pendekatan
penelitian dilakukan melalui metode survey yang didasarkan pada metode
deskriptif. Secara teknis usaha perikanan yang dijalankan umumnya masih layak
dipandang dari masa pengembalian modal yang nilainya masih jauh dibawah masa
efektif alat. Tetapi secara ekonomis, dilihat dari pendapatan per orang per
trip, maka usaha yang dijalankan ini semuanya tidak ekonomis. Pendapatan per
orang per trip yang tertinggi adalah sebesar Rp. 2.442.- Nilai ini yang masih
jauh dari kebutuhan fisik minimal dan lebih rendah dari upah buruh pertanian
atau buruh bangunan.
Meskipun bangsa Indonesia telah merdeka lebih dari
setengah abad atau tepatnya akan memasuki 64 tahun masa kemerdekaan pada
Agustus 2009, persoalan kemiskinan masyarakat masih menjadi salah satu isu
terpenting. Berbagai program pembangunan pada berbagai bidang telah dilakukan
sejalan dengan iklim kemerdekaan yang kondusif, tetapi kita masih menemukan
sangat banyak daerah dan desa yang tertinggal dalam berbagai aspek.
Kementerian Negara Pembangunan Daerah Tertinggal
masih mencatat pada tahun 2008 jumlah desa tertinggal di Indonesia sekitar 45
persen atau sebanyak 32.000 desa dibandingkan total desa secara nasional, yaitu
sebesar 70 ribu.
Salah satu indikator ketertinggalan adalah
minimnya akses warga desa terhadap berbagai sarana penunjang kehidupan.
Infrastruktur yang mendukung aktivitas ekonomi serta infratruktur lainnya
sangat terbatas bahkan dalam banyak kasus tidak tersedia. Kondisi ini yang
menyebabkan umumnya pertumbuhan ekonomi di desa tertinggal sangat rendah bahkan
mengalami stagnasi.
Kondisi ketertinggalan juga berkaitan erat dengan
tingkat kemiskinan. Di daerah-daerah tertinggal jumlah penduduk miskin sangat
besar. Keterbatasan akses dalam berbagai hal membatasi aktivitas warga desa
dalam kegiatan ekonomi sehingga sangat sulit bagi mereka untuk lepas dari
kondisi kemiskinan.
Berbagai program untuk mengatasi persoalan
kemiskinan di desa dan daerah tertinggal telah diluncukan. Salah satu model
yang cukup monumental adalah Inpres Desa Tertinggal (IDT). Selain itu, cukup
banyak program lainnya yang digulirkan seperti program pendukung pembiayaan
melalui berbagai jenis kredit usaha untuk rakyat miskin di pedesaan. Secara
kelembagaan, juga telah dibentuk Kementerian yang khusus mengurusi daerah
tertinggal yang identik dengan kantong kemiskinan. Meski demikian, persoalan
daerah tertinggal dan tingkat kemiskinan di desa masih cukup memprihatinkan.
Strategi dan jalur atau kadang dikenal dengan pathways
untuk mengentaskan kemiskinan merupakan pola yang terpadu. Satu tindakan saja
tidak cukup dan harus bersinergi dan saling melengkapi dengan tindakan yang
lain. The World Bank (2008) dan Asian Dvelopment Bank (2008) telah merumuskan
paling tidak ada tiga pathways untuk mengatasi persoalan kemiskinan di
perdesaan yaitu: peningkatan produktivitas pertanian, pembangunan sektor
nonpertanian termasuk industri perdesaan dan migrasi sebagian penduduk desa ke
kota untuk bekerja di sektor industri dan jasa.
Desa-desa di Indonesia masih sangat identik dengan
sektor pertanian sebagai sumber utama penghidupan warganya. Peningkatan
produktivitas pertanian menjadi hal yang sangat vital bagi peningkatan ekonomi
lokal. Peningkatan produksi
pertanian ini mencakup pertanian dalam arti luas meliputi perkebunan,
kehutanan, perikanan dan peternakan. Dukungan pemerintah pusat dan daerah sangat diperlukan pada peningkatan
akses petani terhadap teknologi produksi, pembiayaan produksi, dan informasi
pertanian. Selain itu, perlu dukungan pembangunan infrastruktur seperti
irigasi, jalan dan pasar desa.
Jalur strategi yang kedua adalah pembangunan
sektor nonpertanian di perdesaan. Mengingat beban desa dan sektor pertanian
secara umum sudah sangat berat, maka diperlukan pembangunan sektor nonpertanian
di desa. Di satu sisi jumlah penduduk bertambah terus, di sisi yang lain daya
dukung lahan sangat terbatas.
Jika tekanan hebat pada sektor pertanian
berlangsung terus menerus, gejala involusi pertanian (agricultural
involution) sebagaimana ditengarai oleh Clifford Geertz (1969) dapat
terjadi. Sektor industri perdesaan akan menjadi alternatif jalan keluar bagi
warga desa agar tidak semakin membebani daya dukung pertanian. Pengembangan
sektor nonpertanian bisa mencakup industri dan jasa yang terkait maupun yang tidak
terkait dengan pertanian.
Rangsangan untuk menumbuhkan industri rumah tangga
pengolahan produk pertanian lokal, pengembangan industri kerajinan dan rintisan
usaha jasa di perdesaan akan sangat penting peranannya dalam menampung angkatan
kerja di perdesaan.
Sebagaimana pembangunan sektor pertanian,
pembangunan industri desa juga perlu didukung dengan pembangunan infrastruktur
seperti jalan, pasar, lembaga keuangan, dan pengembangan mitra kerja dengan
industri menengah. Industri menengah dan besar dapat membangun jaringan
kemitraan yang kuat dengan menekankan kualitas produk melalui bimbingan teknis,
bantuan permodalan dengan ikatan rasa saling percaya (trust) dan saling
menghargai antara pihak bermitra. Salah satu model dalam kemitraan industri
rumah tangga, menengah, dan industri besar dapat diambil dari kisah sukses
industri otomotif dan peralatan rumah tangga di Jepang.
Jalur strategi yang ketiga adalah migrasi sebagian
penduduk desa ke sektor industri dan jasa di perkotaan. Strategi ini juga akan
mengurangi beban berat sektor pertanian di perdesaan. Hal ini juga sekaligus
memberi ruang gerak yang cukup bagi penduduk yang tetap tinggal di desa untuk
bertani dengan lebih efisien dan produkif. Keuntungan dengan adanya migrasi ini
adanya pengiriman sebagian dana (remitance) untuk anggota keluarganya
yang tinggal di desa. Dana
ini bisa menjadi modal kerja dan investasi yang produktif baik di sektor
pertanian maupun nonpertanian di perdesaan. Pada akhirnya juga akan
menggerakkan ekonomi desa dan sangat potensial untuk mengurangi tingkat
kemiskinan desa.
Berbicara pengentasan kemiskinan dan peningkatan
kesejahteraan, akses terhadap pertumbuhan ekonomi saja tidak cukup. Pembangunan
desa juga harus mencakup sektor yang tidak secara langsung berkaitan dengan
pertumbuhan ekonomi seperti peningkatan akses pendidikan, pelayanan kesehatan,
listrik, dan sarana komunikasi.
Meskipun sudah ada Kementerian yang khusus
menangani daerah tertinggal dan kemiskinan, pengetasan kemiskinan di perdesaan
perlu ditangani dengan sangat serius yang merupakan sinergi lintas sektor.
Departemen teknis mungkin memiliki program masing-masing sesuai dengan
bidangnya, tetapi jika tidak dilaksanakan dengan terpadu bersama dengan
departemen teknis lainnya, tampaknya fungsi guna dan dampaknya bagi peningkatan
kesejahteraan rakyat tidak akan optimal.
Pembangunan daerah tertinggal dan pengentasan
kemiskinan merupakan kegiatan yang terintegrasi. Sejak tahap perencanaan,
pelaksanaan dan evaluasi program perlu dilakukan bersama oleh departemen teknis
terkait. Perlu adanya kesepahaman dan kerangka berpikir yang disepakati bersama
dengan penekanan tujuan akhir peningkatan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat.
B.
Jaring Pengaman Sosial (JPS)
Jarimg Pengaman Sosial adalah jaring pengaman adalah
jaring pengaman atau penyelamat masyarakat, keluarga, dan perorangan yang
sedang dalam kesusahan atau dengan kata lain upaya pemerintah untuk menyalurkan
bantuan kepada masyarakat dalam wadah pengelolaan keuangan yang lebih terpadu,
trasparan, dapat dipertanggunjawabkan, dan memberikan akses langsung kepada
masyarakat secara cepat serta berkesinambungan.
Jaringan Pengaman Sosial (JPS) tercipta karena adanya
kesadaran akan krisis yang beralih dengan cepat sekali dari suatu krisis
moneter menjadi krisis ekonomi, krisis keamanan dan akhirnya jadi suatu krisis
politik sosial dan krisis moral.
Jaring ditebar
melalui kerja dan upaya bersama antara instansi-instansi pemerintah, relawan
dan Lembaga-lembaga Swadaya Masyarakat (LSM)
Dari definisi singkat ini dapat ditegaskan bahwa JPS
adalah “program darurat” untuk menolong orang yang sedang dalam kesusahan,
dalam bahaya, bisa bahaya “ kebakaran” atau akan tenggelam karena “kebanjiran”.
Ibarat bhaya kebanjiran mungkin lebih tepat karena mereka yang hidup di bawah
garis kemiskinan atau hampir “tenggelam” memang harus ditolong lebih dulu
ketimbang mereka yang air banjirnya baru mencapai lutut, sedangkan “kobaran
api” yang membakar rumah jelas tidak perlu membedakan orang kaya atau orang
miskin, semuanya perlu pertolongan segera.
Tujuan pokok program
JPS adalah sebagai berikut :
a Menciptakan kesempatan kerja produktif bagi
para penganggur di berbagai sektor kegiatan ekonomi,
b Meningkatkan pendapatan dan daya beli
masyarakat,
c) Meningkatkan kesejahteraan sosial-ekonomi
masyarakat, terutama yang terkena dampak langsung kondisi krisis, dan
d)
Mengkoordinasikan berbagai program pembangunan penanggulangan dampak krisis dan
berbagai program penanggulangan kemiskinan.
B. PELAKSANAAN KEGIATAN
Program JPS yang telah disusun
pemerintah meliputi empat program prioritas, yaitu :
1.
Program ketahanan pangan, dilaksanakan agar masyarakat miskin dapat memperoleh
pangan dengan mudah dan terjangkau, program ini dilaksanakan melalui empat skim
yaitu ;
-
|
Skim cadangan pangan ; dengan memberikan subsidi harga
komoditas� seperti
beras, gula, minyak goreng, tepung, dan kacang-kacangan.
|
-
|
Skim bantuan pangan dilaksanakan melalui Operasi Pasar
Khusus (OPK),berupa penyediaan beras kepada Keluarga Sejahtera I dan Keluarga
Prasejahtera.
|
-
|
Skim Intensifikasi� Produksi pangan berupa pemberian bantuan teknis kepada para
petani, yang dilaksanakan bekerja sama dengan lembaga penelitian dan
universitas.
|
-
|
Skim subsidi pupuk dan modal berupa pemberian subsidi
atas impor pupuk dan subsidi modal kepada petani yang akan membeli alat-alat
produksi melalui program Kredit Usaha Tani (KUT).
|
2. Program padat karya dan
penciptaan lapangan kerja produktif dilakukan antara lain melalui perluasan
progran padat karya yang telah ada selama ini yang mencakup pekerjaan
pemeliharaan dan perbaikan infrastruktur, seperti jaringan irigasi, sistem
pengairan, jalan, dan gedung sekolah. Program ini dilaksanakan baik di wilayah
pedesaan maupun perkantoran.
3. Program pengembangan usaha kecil
dan menengah diarahkan untuk menciptakan mekanisme� yang
menjamin lingkungan bisnis yang adil dan produktif, termasuk pemberian kredit
murah bagi usaha kecil, menengah, dan koperasi.
4. Program peningkatan pelayanan
sosial dasar; dengan memperiolitaskan pelayanan masyarakat di bidang kesehatan
( untuk memperbaiki dan menjaga tingkat kesehatan serta gizi keluarga miskin
melalui pemberian pelayanan kesehatan di puskesmas, pemeriksaan kehamilan dan
pelayanan persalinan gratis bagi penduduk miskin, pemberian makanan tambahan
untuk memulihkan ibu hamil, nifas dan meyusui termasuk untuk bayi berusia 6-24
bulan yang mengalami kekurangan gizi kroni ) dan dibidang pendidikan ( Untuk
mempertahankan tingkat enrollment rate dan menjaga agar tidak terjadi drop out
bagi siswa sekolah. Program ini dilaksanakan antara lain dalam bentuk
pembebasan berbagai pungutan dan pemberian bea siswa ).
Keempat program tersebut di atas tertuang dalam 17
sektor pembangunan dengan alokasi anggaran dalam APBN Juli 1998 sebesar Rp.
17,25 triliun, yang direvisi pada bulan September 1998 menjadi Rp. 17,99
triliun, Jumlah ini merupakan� 19,4 % dari total pengeluaran pembangunan selama tahun 1998/1999.
Sehubungan dengan rendahnya realisasi JPS, pemerintah akan memperpanjang
pelaksanaan program ini dalam anggaran sampai Juni 1999. Angka realisasi akhir
program JPS diperkirakan akan mencapai Rp. 16,25 triliun atau 90,3 % dari total
alokasi anggaran sebesar Rp. 17,99 Triliun.
Lambannya penyerapan JPS di lapangan disebabkan oleh 2
(dua) kendala utama Yaitu :
1. Data yang akurat dan lengkap
mengenai penduduk miskin di suatu daerah terbatas.
2. Sistem pemantauan dan
pengendalian pelaksanaan JPS di lapangan masih belum memadai. Untuk mengatasi
kendala-kendala tersebut, dan untuk mencegah terjadinya kebocoran dana,
pemerintah mengeluarkan Keppres No.190/1998 mengenai pembentukan gugus tugas
peningkatan JPS. Bappenas juga telah merancang dan mengkoordinasikan suatu
program pemberdayaan Daerah dalam mengatasi dampak krisis ekonomi (PDAM-DKE),
yang disusun dengan menggunakan pendekatan komunitas dan prinsip-prinsip yang dapat
membantu mempercepat dan mengefisienkan pelaksanaan JPS di lapangan yaitu :
a. Penyaluran bantuan harus
dilakukan secara cepat dan langsung��� sampai kepada kelompok
penerima manfaat.
b. Rencana kegiatan harus dapat
diketahui oleh seluruh lapisan masyarakat dengan mudah dan terbuka.
c. Seluruh kegiatan harus dapat
dipertanggungjawabkan baik secara teknis maupun administratif.
d. Hasil kegiatan harus dapat
dilestarikan dan dikembangkan oleh masyarakat sendiri dalam wadah organisasi
masyarakat setempat.
Indonesia
Sedang “Sakit” atau Sedang “Pingsan”?
Dalam
seminar tentang prospek Ekonomi Global 1998-1999 tanggal 26 Januari 1999,
muncul 2 pendapat berbeda tentang sifat masalah ekonomi yang sedang dihadapi
Indonesia. Pendapat pertama menyatakan bahwa ekonomi indonesia sedang sakit
keras yang membutuhkan obat mujarab dan dokter yang hebat. “Penyakit
ekonomiIndonesia sulit diobati dan obat apapun dikhawatirkan tidak manjur.
Sayang, dokternya hanya satu yaitu IMF dan tidak ada dokter lain yang bisa
menolong”. Pendapat kedua adalah bahwa sesungguhnya ekonomi Indonesia tidak
sedang sakit tetapi “pingsan”, sehabis terpukul “knock out” dari “perkelahian tak seimbang”. Indonesia kalah telak
karena disamping perkelahian bersifat “free
fight” (non level playing field) juga karena “aturan main” dibuat oleh
“mereka”, yaitu aturan “sistem ekonomi kapitalisme”. Pendapat atau versi kedua
rasanya lebih cocok karena Indonesia dewasa ini sudah merupakan bagian dari
ekonomi dunia dan tidak lagi dalam kondisi terisolasi dari perekonomian dunia.
Jika ingin terjadinya “perkelahian” yang lebih adil dan seimbang, indonesia
harus dan berhak untuk ikut menetapkan aturan main “pertinjuan”. Maka aturan
main “ekonomi pancasila: atau “ekonomi kerakyatan” harus menjadi acuan.
Melalui
sistem ekonomi kerakyatan bangsa Indonesia berusaha menghimpun kekuatan
nasional dan kekuatan rakyat seperti waktu kita akhirnya berhasil memenangkan
perang kemerdekaan melalui sistem perang gerilya. Pada waktu itu dengan
alat/senjata seadanya kita dapat menang karena kita benar-benar didukung dan
mengandalkan pada kekuatan ekonomi rakyat. Secara kongkrit “perang gerilya
ekonomi” hanya bisa dimenangkan melalui pengembangan dan pemihakan penuh pada
ekonomi rakyat., berupa upaya-upayapenanggulangan kemiskinan massal melalui
program-program Jaring Pengaman Sosial (JPS) dan pada peningkatan
desentralisasi dan otonomi daerah dengan secepatnya menghapuskan ketimpangan
ekonomi dan kesenjangan sosial (TAP MPR No. X,XV,dan XVI/1998).
Ekonomi
kerakyatan adalah sistem ekonomi (demokratis) yang dioperasionalkan melalui
peihakan dan perlindungan penuh pada sektor ekonomi rakyat (kecil).
Mendengarkan dan menampung aspirasi rakyat secara langsung dan mendasarkan
segala kebijaksanaan ekonomi pada kepentingan rakyat banyak adalah kunci
memenangkan “perang ekonomi” yang kita hadapi dewasa ini.
Strategi
Menanggulangi Krisis Ekonomi
Salah satu asumsi lain program-program JPS adalah bahwa
tanpa bantuan pemerintah penduduk miskin di pedesaan tidak akan bisa bertahan
hidup, sehingga dikhawatirkan akan benar-benar menderita kelaparan seperti
halnya yang telah terjadi di irian Jaya 1997.
Menghadapi
masyarakat desa yang demikian dinamis di daerah-daerah tertentu tidaklah pada
tempatnya diadakan program-program JPS secara seragam lebih lebih berupa
pemberian santunan sosial seperti pemberian beras murah. Karena perbedaan
persepsi tentang krisis ekonomi diantara warga masyarakat termasuk para pakar
ekonomi, dan antara berbagai kelompok masyarakat desa yang berbeda-bedatahap
perkembangannya, maka efektivitas pelaksaan program-program JPS juga sangat
berbeda. Yang paling aman adalah “mempercayakan pelaksaan program JPS sejauh
mungkin kepada warga masyarakat sendiri.
Ekonomi
Rakyat Tahan Banting
Dalam
buku yang sudah menjadi klasik tulisan R.H Tawney,Land and Labor in china (1932)diuraikan sebab-sebab mengapa petani China
kelak harus berontak melawan siapapun yang selalu memerasnya. Ditanya
pendapatnya tentang pemerintahan Chiang Kai-Shek sekitar tahun 1929, Tawney
menyatakan bahwa kondisi petani di pelosok-pelosok desa di China dianggapnya
sangat tertekan, mereka hidup dalam kemiskinan luar biasa, sehingga
bencana-bencana kelaparan “terlalu biasa” dalam kehidupan mereka.
Bagaimana kondisi petani dan warga pedesaan di indonesia
dewasa ini? Adakah kemajuan sejak menjadi negara merdeka tahun 1945? Indonesia
sebagai negara dengan penduduk terbesar
nomor 4 di dunia sudah mengalami banyak kemajuan dan standar hidup
warganya pada umumnya sudah bertambah baik. Namun yang menjadi masalah adalah
seperti halnya Cina yang wilayahnya sangat luas, Indonesia terbagi-bagi atas
daerah-daerah yang amat berbeda taraf kemajuannya.
Reformasi
telah membawa banyak perubahan dalam perekonomian Indonesia dan peranan sektor
pertanian di dalamnya. Hal yang menonjol adalah kesadaran (kembali) bahwa
peranan pertanian benar-benar tidak lagi dapat diabaikan dalam perekonomian
nasional. Lebih-lebih dalam krisis ekonomi, nilai tukar hasil-hasil pertanian
(nilai tukar petani) pada umumnya mengalami perbaikan yang menguntungkan petani
dan ekonomi nasional menjadi “terlindungi” dari kemerosotan yang lebih parah.
Globalisasi
adalah fenomena lain yang cukup “membingungkan” berbagai fihak bagaimana
menyikapi secara benar. Globalisasi bukanlah “dewa penolong” atau sebaliknya
“hantu”, tetapi suatu proses perkembangan ekonomi yang merupakan bagian yang
tak terpisahkan dari kemajuan ekonomi dan teknologi dunia. Dalam prosses
kemajuan ini para kapitalis memegang kunci yang akan memenangkan permainan. Dan
sebaliknya negara-negara berkembang harus membayar mahal biayanya atau bahkan
bisa hancur berantakan jika salah dalam menanggapinya.
Cara
terbaik menghadapi proses globalisasi yang berbahaya, mahal, dan penuh resiko
ini tidak banyak pilihannya, tetapi harus berprinsip pada rasa percaya diri atau
dengan semangat kemandirian mengandalkan pada kekuatan ekonomi rakyat banyak.
Kekuatan ekonomi rakyat banyak tidak lain adalah sektor ekonomi rakyat itu
sendiri yang sebagian besar masih amat lemah.
Jaring
Pengaman Sosial sebagai program Darurat
JPS
adalah jaring yang ditebar untuk “mengamankan” atau “menyelamatkan” orang
miskin dari kondisi yang “tidak aman” ke kondisi yang “lebih aman” dan yang
akan diselamatkan dengan jaring pengaman adalah mereka yang benar-benar terkena
dampak negatif krisis ekonomi, baik yang sudah hidup miskin sebelum krisis
(miskin lama) maupun yang menjadi miskin sejak terjadinya krisis (miskin baru).
IDT
dan JPS
Ada beda
besar antara program IDT yang dilaksanakan dalam suasana normal, jauh sebelum
terjadinya krisis ekonomi (1994) dengan program JPS yang diadakan karena ada
krisis. Dalam kondisi krisis pemerintah bisa “keliru” atau tidak tepat dalam
menetapkan sasaran peogram. Pertama, mereka yang jatuh miskin memang bertambah
dengan jumlah yang amat besar sehingga data penduduk miskin yang ada telah
banyak bertambah. Data-data keluarga prasejahtera tidak relevan lagi.; kedua
pemerintah tidak mau mengambil resiko dengan cara melaksanakan program JPS
dimanapun di seluruh Indonesia, meskipun besarnya dana per desa tidak sama
karena didasarkan pada data-data usulan di bawah. Inilah awal dari masalah
“ketidakadilan” yang dirasakan oleh daerah-daerah yang mendapat dana sedikit ;
ketiga, JPS sebagai proyek (seperti PDM-DKE) memang berarti ada pimpro-pimpro
yang “berkuasa” atau berwenang mengatur “ketertiban” proyek. Ia mempunyai hak
atas honor dan berhak menunjuk atau mengusulkan orang-orang lain menjadi
fasilitator (konsultan) yang memperoleh honor karena bekerja untuk proyek yang
bersangkutan ; keempat, sebagai program/proyek nasional, pedoman umum apapun
memerlukan banyak “penyesuaian” dengan kondisi daerah yang berbeda-beda,
padahal seperti halnya dalam PDM-DKE juga ada “pesan” agar cepat dicairkan. Programnya
sendiri baru “diresmikan” akhir Oktober 1998, dan banyak yang baru di “SK”kan
Gubernur atau Bupati pada akhir Desember atau bahkan awal januari 1999,
sehingga proses pencairan dananya praktis hanya tersedia waktu 3 bulan sampai
dengan maret 1999.
Peran
LSM
Keterlibatan
LSM merupakan keharusan dalam JPS, padahal di kebanyakan daerah “hubungan
akrab” antara LSM dan pemda sering belum tercapai. Maka yang terjadi adalah
“kecurigaan” satu sama lain. Menurut seorang pengamat, LSM dianggap lebih
sering “ngrecoki” ketimbang membantu melancarkan jalannya program/proyek.
Dalam
kenyataan pelaksanaan PDM-DKE, misalnya di Jawa Barat dan propinsi DIY, LSM dan
Perguruan Tinggi setempat dapat bekerja sama dalam suasana akrab dan saling
pengertian, sehingga tidak muncul peristiwa salah menyalahkan, seperti halnya
LKMD yang banyak “dicurigai” di DKI Jakarta atau medan.
Harus
diakui bahwa definisi JPS memang belum pernah ada sehingga membuka peluang
orang bertanya jaring pengaman (buat) siapa? JPS adalah jaring pengaman atau
penyelamatan masyarakat, keluarga, atau orang yang sedang susah sebagai akibat
krisis ekonomi, dibuat dan dipakai secara bersama-sama oleh instansi-instansi
pemerintah, para relawan dan LSM. Dari definisi ini jelas bahwa mereka yang
akan ditolong haurslah yang benar-benar sedang susah dan bahkan yang sedang
“menikmati” krisis. Pemerintah memegang peranan utama dengan menggali sumber
dana JPS dari dalam maupun luar negeri dan selanjutnya “menyerahkan” kepada
Pemda dan masyarakat untuk melaksanakannya. Di daerah-daerah (propinsi sampai
desa/kelurahan) pemerintah harus bekerja sama erat dengan para relawan (di
RT/RW) dan LSM karena dalam kondisi krisis pemerintah sendirian tidak akan
mampu mengatasinya.
Program
JPS mendapat kritik dari masyarakat luas maupun LSM haruslah dianggan pertanda
baik sebagai bukti keterlibatan dan kepedulian mereka yang ingin agar program
ini benar-benar tepat mencapai sasarannya yaitu mereka yang sedang susah
kehidupannya karena krisis ekonomi.
Mawas
Diri Pembangunan Perdesaan
a.
Lemahnya
keberdayaan komunitas desa tidaklah tercipta begitu saja. Disadari atau tidak,
ia merupakan dampak akumulatif dari “malpraktek” pembangunan di masa lalu.
Dalam kenyataannya, program-program lebih sering “memobilisasi” komunitas desa,
menempatkan manusia dan masyarakat sebagai objek layaknya benda mati yang harus
mengikuti apa yang telah digariskan oleh program (pembangunan) walau tak
relevan dengan potensi dan kebutuhan pengembangan diri mereka.
b.
Sekrang
kita m,emang dapat menyaksikan komunitas desa telah mengalami kemajuan fisik
–material secara signifikan akibat pembangunan. Namun di balik kemajuan
fisik-material tersebut yang terjadi sesungguhnya adalah kemandegan kalau bukan
kemunduran sosial-budaya. Manusia desa seakan menjadi “robot-robot”
pembangunan, tidak lagi memiliki prakarsa , daya cipta dan wawasan ke depan.
Kemundurfan yang paling nyata terletak pada memudarnya modal sosial komunitas
desa yakni terjadinya disorganisasi dan disintegrasi sosial yang tak
memungkinkan masyarakat bkerja secara efisien. Fenomena ini tampak dari
melemahnya kemandirian (keswadayaan dan partisipasi) masyarakat bersamaan
dengan menguatnya ketergantungan komunitas desa pada bantuan dan petunjuk dari
petunjuk pihak luar.
c.
Dalam
konteks yang lebih luas menguatnya ketergantungan komunitas desa tak lain
adalah sumber dari apa yang disebut sebagai kegiatan pembanguanan yang berbiaya
tinggi (boros).
DAFTAR
PUSTAKA
Murbyartodan Boediono.1981.Ekonomi Pancsila.Yogyakarta : BPFE.
Drs.Ibnu Syamsi S.U.1983. Dasar-Dasar Kebijaksanaan Keuangan Negara.Yogyakarta : Rineka
Cipta.
Edi Swasono,Sri.1985.Sistem
Ekonomi dan Demokrasi Ekonomi.Jakarta : UI-Press.
Drs.M.Suparmoko,Ph.D.M.A.2001.Ekonomi Publik : Untuk keuangan dan Pembangunan Daerah. Purwokerto
: Andi Yogyakarta.
Murbyarto.2000.Membangun
Sistem Ekonomi.Yogyakarta:BPFE.
Http://repository.ui.ac.id/